Selasa, 10 Maret 2015

SEJARAH PERKEMBANGAN KESENIAN WAYANG YANG DIDASARKAN PANCASILA



Sejarah Perkembangan Kesenian Wayang
Kesenian wayang dalam bentuknya yang asli timbul sebelum kebudayaan Hindu masuk di Indonesia dan mulai berkembang pada zaman Hindu-Jawa. Pertunjukan kesenian wayang merupakan sisa-sisa upacara keagamaan orang Jawa, yaitu sisa-sisa dari kepercayaan animisme dan dinamisme.

Tentang asal-usul kesenian wayang hingga dewasa ini masih merupakan suatu masalah yang belum terpecahkan secara tuntas. Namun demikian, banyak ahli mulai mencoba menelusuri sejarah perkembangan wayang dan masalah ini ternyata sangat menarik sebagai sumber atau obyek penelitian. Menurut Kitab Centini , tentang asal-usul wayang purwa disebutkan bahwa kesenian wayang mula-mula sekali diciptakan oleh Raja Jayabaya dari Kerajaan Mamenang/Kediri. Sekitar abad ke-10 Raja Jayabaya berusaha menciptakan gambaran dari roh leluhurnya dan digoreskan di atas daun lontar. Bentuk gambaran wayang tersebut ditiru dari gambaran relief cerita Ramayana pada Candi Penataran di Blitar. Cerita Ramayana sangat menarik perhatiannya karena Jayabaya termasuk penyembah Dewa Wisnu yang setia, bahkan oleh masyarakat dianggap sebagai penjelmaan atau titisan Batara Wisnu. Figur tokoh yang digambarkan untuk pertama kali adalah Bhatara Guru atau Sang Hyang Jagadnata, yaitu perwujudan dari Dewa Wisnu.
Berdasarkan sejarahnya, kesenian wayang jelas lahir di bumi Indonesia. Karena sifat local genius yang dimiliki bangsa Indonesia, maka secara sempurna terjadi pembauran kebudayaan asing, sehingga tidak terasa sifat asingnya. Berbicara kesenian wayang dalam hubungannya dengan pendidikan kepribadian bangsa tidak dapat lepas dari pada tinjauan kesenian wayang itu sendiri dengan falsafah hidup bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Pancasila sebagai falsafah negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia, merupakan ciri khusus yang dapat membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa lain. Pancasila adalah norma yang mengatur tingkah laku dan perikehidupan bangsa. Menurut TAP MPR - Rl No. II/ MPR/1993 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara; disitu ditandaskan bahwa untuk mewujudkan tujuan nasional sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Perlu menetapkan Ketetapan yang mengatur Garis-Garis Besar Haluan Negara yang didasarkan atas aspirasi dan kepribadian bangsa demi penghayatan dan pengamalan kehidupan kenegaraan yang demokratis-konstitusional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Pengertian kepribadian bangsa adalah suatu ciri khusus yang konsisten dari bangsa Indonesia yang dapat memberikan identitas khusus, sehingga secara jelas dapat dibedakan dengan bangsa lain. Rumusan Pancasila secara resmi ditetapkan dengan syah sebagai falsafah negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia sejak berlakunya Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea 4 tercanang rumusan Pancasila yang berbunyi: 1) Ketuhanan Yang Maha Esa, 2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, 3) Persatuan Indonesia, 4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu 5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Jiwa Pancasila seperti yang termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, bukanlah masalah yang baru dalam dunia pewayangan.
1. Asas Ketuhanan Yang Maha Esa
Dalam dunia pewayangan dikenal tokoh yang biasa disebut Hyang Suksma Kawekas. Tokoh ini tidak pernah diwujudkan dalam bentuk wayang, tetapi diakui sebagai Dewa Yang Tertinggi. Tokoh dewa-dewa yang diwujudkan dalam bentuk wayang, misalnya: Bhatara Guru, Narada, Wisnu, Brahma, Kamajaya, dalam pewayangan digambarkan seperti manusia biasa. Mereka juga dilukiskan memiliki watak serta tabiat yang banyak persamaannya dengan manusia lumrah. Dalam cerita-cerita mereka sering pula berbuat salah, bahkan tidak jarang terpaksa minta bantuan manusia dalam menghadapi hal-hal tertentu. Kekawin Arjunawiwaha, misalnya, merupakan contoh yang jelas. Pada saat raksasa Nirwatakawaca mengamuk di Suralaya karena maksudnya meminang Dewi Supraba ditolak para dewa. Para dewa tidak mampu menghadapinya. Untuk mengamankan Suralaya para dewa minta bantuan bagawan Mintaraga atau Bagawan Ciptaning, yaitu nama Arjuna saat menjadi pertapa. Sebagai imbalan jasa karena Bagawan Ciptaning berhasil membunuh raksasa Nirwatakawaca, diberi hadiah Dewi Supraba dan pusaka Pasopati. Di sini terlihat bahwa kebenaran yang bersifat mutlak hanya dimiliki Dewa Tertinggi yaitu Hyang Suksma Kawekas. Ajaran ini tidak jauh berbeda dengan ajaran yang terkandung di dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa .
2. Asas Kemanusiaan
Jiwa yang terkandung dalam sila Kemanusiaan, pada hakikatnya suatu ajaran untuk mengagung-agungkan norma-norma kebenaran. Bahwasanya kebenaran adalah di atas segala-galanya. Kendati kebenaran mutlak hanya berada di tangan Tuhan Yang Maha Esa, namun untuk menjaga keseimbangan kehidupan antara manusia perlu dipupuk kesadaran tenggang rasa yang besar.

Kebenaran yang sejati memunyai sifat universal, artinya berlaku kapan saja, di mana saja, dan oleh siapa pun. Tokoh dalam dunia pewayangan yang memiliki sifat dan watak mengabdi kebenaran banyak jumlahnya. Sebagai contoh dapat dipetik dari Serat Ramayana . Di dalam Serat Ramayana dikenal putra Alengka bernama Raden Wibisono yang memunyai watak mencerminkan ajaran kemanusiaan. Kisah inti dalam Serat Ramayana berkisar pada kemelut yang terjadi di antara Prabu Dasamuka yang merampas istri Rama. Tindakan Prabu Dasamuka ini dinilai berada di luar batas kemanusiaan. Raden Wibisono sadar akan hal tersebut, Prabu Dasamuka dianggap melanggar norma perikemanusiaan. Oleh karena itu, Raden Wibisono ikut aktif membantu Raden Rama untuk memerangi saudaranya sendiri. Demi kemanusiaan Raden Wibisono rela mengorbankan saudara sendiri yang dianggap berada di pihak yang salah.
3. Asas Persatuan
Dalam dunia pewayangan tokoh yang memilih jiwa kebangsaan tinggi terlukis pada diri tokoh Kumbakarna digambarkan dalam bentuk raksasa, namun memiliki jiwa kesatria. Sebagai adik Raja Dasamuka, Kumbakarna memiliki sifat yang berbeda. Kumbakarna menentang tindakan Prabu Dasamuka yang merampas Dewi Sinta isteri Rama.
Sikap menentang sama dengan sikap Raden Wibisono, tetapi jalan yang ditempuh berbeda. Raden Wibisono menentang dengan aktif memihak Raden Rama, sedangkan Kumbakarna tetap berpihak Alengka demi negaranya. Niatnya bukan perang membela kakaknya, tetapi bagaimana pun Alengka adalah negaranya yang wajib dibela walau pun harus mengorbankan jiwa raga. Oleh karena itu, nama Kumbakarna tercanang sebagai nasionalis sejati. Benar atau salah Alengka adalah negaranya.
4. Asas Kerakyatan/Kedaulatan Rakyat
Dalam dunia pewayangan dikenal tokoh punakawan yang bernama Semar. Semar adalah punakawan dari para kesatria yang luhur budinya dan baik pekertinya. Sebagai punakawan, Semar adalah abdi, tetapi berjiwa pamong, sehingga oleh para kesatria Semar dihormati.
Penampilan tokoh Semar dalam pewayangan sangat menonjol. Walau dalam kehidupan sehari-hari tidak lebih dari seorang abdi, tetapi pada saat-saat tertentu Semar sering berperan sebagai seorang penasehat dan penyelamat para kesatria di saat menghadapi bahaya, baik akibat ulah sesama manusia mau pun akibat ulah para dewa. Dalam pewayangan tokoh Semar sering dianggap sebagai dewa yang ngejawantah atau dewa yang berujud manusia. Menurut Serat Kanda dijelaskan bahwa Semar sebenarnya adalah anak Syang Hyang Tunggal yang semula bernama Bhatara Ismaya, saudara tua dari Bhatara Guru.
Semar sebagai dewa yang berujud manusia, mengemban tugas khusus menjaga ketenteraman dunia dalam penampilan sebagai rakyat biasa. Para kesatria utama yang berbudi luhur memunyai keyakinan bilamana menurut segala nasehat Semar akan mendapatkan kebahagiaan. Semar dianggap memiliki kedaulatan yang hadir di tengah-tengah para kesatria sebagai penegak kebenaran dan keadilan. Dengan kata lain, Semar adalah simbol rakyat yang merupakan sumber kedaulatan bagi para kesatria atau yang berkuasa.
5. Asas Keadilan Sosial
Unsur keadilan dalam dunia pewayangan dilambangkan dalam diri tokoh Pandawa. Pandawa yang terdiri dari Puntadewa, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa, secara bersama-sama memerintah negara Amarta. Kelimanya digambarkan bersama bahagia dan bersama-sama menderita. Tiap-tiap tokoh Pandawa memunyai ciri watak yang berlainan, namun dalam segala tingkah lakunya selalu bersatu dalam menghadapi segala tantangan. Puntadewa yang paling tua sangat terkenal sebagai raja yang adil dan jujur, bahkan diceriterakan berdarah putih. Puntadewa dianggap titisan Dewa Dharma yang memiliki watak menonjol selalu mementingkan kepentingan orang lain, rasa sosialnya sangat besar.


0 komentar:

Posting Komentar

 

Copyright © 2010 Kalo Bukan Gua Siapa Lagi ?

Template N2y Suka-Suka by Nano Yulianto