Selasa, 31 Maret 2015

14 Fakta Fakta dan Misteri Yang Terdapat Pada Lukisan Fenomenal Monalisa

Simaklah :D



Gambar


Kali ini blog ini akan menjelaskan tentang suatu lukisan yang sangat terkenal , yaitu "Monalisa" yaitu lukisan yang dibuat oleh pelukis paling berpengaruh didunia yaitu Leonardo Da Vinci. Lukisan ini tidak hanya menuai kontroversi karena keindahan dan harganya yang konon seharga 670-750 Juta US Dollar tapi juga karena misteri dan fakta fakta legendarisnya yang sampai sekarang masih belum terkuak kebenarannya


Mona Lisa dengan senyum rahasianya merupakan lukisan yang paling diperdebatkan di dunia. Bahkan Orang awam yang tidak memiliki rasa seni pun tentu tahu tentang lukisan Mona Lisa. Beberapa Orang terpesona oleh senyum rahasia dari lukisan Mona Lisa.


Namun sejarawan dan ahli seni membaca lukisan terkenal lebih dari sekedar nilai estetika belaka. Kerumunan Orang dari berbagai latarbelakang berkumpul di museum Louvre di Paris untuk melihat lukisan ini sepanjang waktu.

Mona Lisa juga terkenal karena dikabarkan merupakan karya favorit dari pelukis legendaris, Leonardo Da Vinci. Bahkan, ia membawanya ke mana pun ia pergi. Kedekatan lukisan dengan penciptanya tersebut telah melahirkan banyak teori konspirasi. Teori-teori konspirasi tersebut mulai dari identitas wanita dalam lukisan tersebut hingga adanya petunjuk rahasia di balik lukisan Mona Lisa.

Rahasia Mona Lisa sendiri telah diperdebatkan selama berabad-abad, bahkan hingga saat ini. Bahkan, lukisan ini telah bertahan selama 500 tahun semenjak Leonardo Da Vinci meninggal.

Tetapi teori konspirasi mengenai Mona Lisa dan petunjuk rahasia di dalamnya tertangkap setelah novel Dan Brown “Da Vinci Code” diterbitkan.

Novel fiksi terlaris dalam sejarah tersebut mengangkat banyak pertanyaan kontroversial tentang identitas Mona Lisa dan rahasia dibalik senyumnya. Berikut 14 Fakta dan Misteri menarik pada Lukisan Mona Lisa yang dikutip dari berbagai sumber

1. Segitiga Emas
-Beberapa teori percaya bahwa Mona Lisa memiliki simetris sempurna. Lukisan ini membentuk simbol piala kuno yang merupakan petunjuk langsung ke cawan suci yang penuh unsur mistis. Dan Brown telah menguraikan tentang teori ini dalam buku bestseller-nya, ‘Da Vinci Code’.

2. Amon Dan Elisa: Pria dan Wanita
-Beberapa sejarawan menyatakan bahwa Mona Lisa adalah kombinasi dari pria dan wanita. Kata-kata Latin Amon dan Elisa bergabung untuk membentuk Mona Lisa. Hal tersebut membuat Mona Lisa cenderung sebagai seorang yang memiliki kelamin ganda atau hermaphrodite.

3. Mona Lisa Adalah Leonardo Da Vinci
Beberapa teori juga percaya bahwa Mona Lisa mungkin adalah versi muda dari Leonardo Da Vinci sendiri. Lukisan ini memiliki kesamaan yang menakjubkan dengan potret dirinya.

4. Mengapa Mona Lisa Tidak Memiliki Alis?
Mona Lisa tampak Aneh karena dia sama sekali tidak memiliki rambut di wajahnya. Bahkan rambut alis pun sama sekali tidak ada. Beberapa sejarawan mengatakan bahwa itu adalah adat bagi wanita mulia untuk mencukur alis mereka di abad ke-16.

5. Mona Lisa Adalah Ibu Dari Leonardo Da Vinci
-Beberapa saksi sejarah juga menunjukkan bahwa Leonardo mungkin telah melukis Mona Lisa sebagai gambaran dari ibunya, Caterina Da Vinci.

6. Mona Lisa Adalah Laki-laki
-Beberapa teori telah menemukan figur seorang Mona Lisa sebagai seorang laki-laki. Fakta bahwa Mona Lisa tidak memiliki tanda-tanda payudara telah menyebabkan banyak Orang percaya bahwa Mona Lisa sebenarnya adalah seorang pria banci.

7. Siapa Sebenarnya Mona Lisa
-Secara historis, Mona Lisa adalah istri seorang pria Florentine. Namanya adalah Lisa del Giocondo. Tapi wanita dalam lukisan tersebut diselimuti misteri karena tidak ada bukti lain penampilan yang sebenarnya bagaimana dirinya semasa hidup.

8. Mona Lisa Sedang Hamil Ketika Dilukis
Perut Mona Lisa memang memiliki sedikit benjolan dan dia duduk dengan melipat tangannya untuk menyembunyikannya. Dan Lisa del Giocondo yang asli memang sedang hamil anak kedua ketika dia dilukis.

9. Senyum Misterius Mona Lisa
-Konspirasi terakhir yang paling populer hingga saat ini adalah misteri dari senyum Mona Lisa. Dia nampak tersenyum di dalam lukisan tersebut namun matanya justru menunjukkan kesedihan. Senyum tersebut pula lah yang menjadi dasar teori konspirasi yang menyimpulkan bahwa ada petunjuk rahasia di balik lukisan Mona Lisa. 




10. Senyum Mona Lisa ternyata hanya sebuah ilusi optis
Seorang pakar neuroscientist dari universitas Harvard, Margaret Livingstone, dalam Journal Science no. 17. yang mendapat dukungan dari ahli sejarah kesenian zaman Renaissans dari universitas Columbia, James Beck, mengungkapkan sebuah kajian ilmiah yang menyatakan
“bahwa senyuman memesona yang terkesan muncul selintas dengan lamat-lamat pada wajah Monalisa tersebut terjadi akibat efek dari suatu ilusi optik, senyuman itu dapat tertangkap mata justru pada saat seseorang tidak tengah langsung memandang ke arah bibir Monalisa.”
Livingstone dalam penelitiannya menggunakan metoda kerja dengan menscanning reproduksi lukisan Monalisa lalu menghilangkan seluruh image bayang dan efek yang ada dalam area pandang peripheral, sehingga lukisan tersebut hanya menyisakan image kontras dan beda warna seperti yang lazim terlihat dalam area fovea atau area daerah pusat pada area bidang pandang. proses tersebut mengakibatkan pandangan mata manusia tidak dapat lagi menangkap adanya senyuman pada lukisan Monalisa. ketika efek bayangan dimasukkan kembali pada lukisan, maka dengan segera senyum itu muncul kembali.
11. Senyum itu hanya dapat terjadi bila Monalisa tidak memiliki Gigi
Sebuah riset yang dilakukan dari tahun 1997 hingga 2001 yang dipimpin oleh Dr. Montague Merlic, ahli forensik asal Inggris, mengungkapkan bahwa Monalisa tidak dapat menutup mulutnya dengan pas karena dia mungkin telah kehilangan gigi-giginya. menurutnya, kendati tampak seperti tersenyum, namun secara forensik, tidak seperti itu. Monalisa cuma tidak bisa menutup mulutnya dengan benar.
mereka melakukan riset dengan menggunakan peralatan teknologi mutakhir, yaitu komputer, pencitraan holografis dan tiga dimensi, sehingga dapat diciptakan suatu simulasi susunan kerangka kepala monalisa yang dapat dilihat dari berbagai sudut pandang melalui layar komputer.
dari gambar 3 dimensi tersebut terlihat bahwa profil kiri dan kanan kepala monalisa terdapat indikasi kuat adanya sesuatu yang tidak beres pada mulut Monalisa. akhirnya disimpulkan sebuah keyakinan bahwa ekspresi yang terlukis pada Monalisa hanya dapat terjadi bila tidak ada gigi dalam rongga mulut Monalisa, dengan kata lain, Monalisa sebenarnya ompong.
12.  Da Vinci  melukis orang yang nyata
Tahun 2004, pakar sejarah, Giuseppe Pallanti, mempelajari berbagai arsip penduduk kota tempat Da Vinci menciptakan lukisan itu, yaitu kota Firenze. Pallanti menelaah arsip yang sudah tersimpan berabad-abad, mulai dari catatan pernikajan sampai akta-akta kepemilikan tanah milik warga kota. Pallanti menghabiskan lebih dari 25 tahun untuk mengungkap misteri lukisan Monalisa ini. ternyata wanita yang digambar Da Vinci bukanlah tokoh fiktif, tetapi adalah orang yang sebenarnya!
bernama alsi Monalisa del Giocondo, hidup di kota Firenze pada tahun 1490-an. Monalisa lahir di Florence, Italia, Mei 1479, dengan nama Lisa Gherardine. monalisa menikah dengan seorang pedagang kain sutra kaya raya, Francesco del Giocondo, pada tahun 1495 yang merupakan rekan dari ayah Da Vinci. hasil penyelidikan Pallanti menunjukkan bahwa Da Vinci tinggal di kota kecil itu tahun 1501 hingga 1503.
13. senyum itu 83% kebahagiaan, 9% kekejian, 6% rasa takut, 2% rasa marah
Para ilmuwan dari universitas Amsterdam dan Universitas Illinois pada tahun 2005 tidak mau ketinggalan untuk menganalisis senyum monalisa menggunakan bantuan software komputer untuk mengungkap rahasia emosi yang terkandung dalam lukisan monalisa. analisis diperoleh dari goresan lipstik dan kerutan spitar mata yang menurut para ahli dapat menggambarkan emosi dari seseorang. dalam “New Scientist” mereka menyimpulan bahwa senyuman monalisa menyampaikan pesan bahwa senyum tersebut mengandung 83% bahagia, 9% kekejian, 6% rasa takut, dan 2% rasa marah.
14. Terdapat hewan hewan pada lukisan tersebut
Ketika dimiringkan kesebelah kiri, lukisan yang dibuat Da Vinci pada tahun 1519 itu memperlihatkan beberapa kepala hewan seperti singa, kera dan banteng mengambang di udara sekitar kepala Mona Lisa, bersama dengan hewan yang mirip ular atau buaya yang keluar dari sisi kiri tubuhnya.Dengan penemuannya ini, Piccirillo merasa bahwa lukisan Mona Lisa sebenarnya adalah representasi dari rasa iri atau kecemburuan.Teori ini cenderung menuai kontroversi di kalangan para kritikus seni, dimana banyak di antaranya memiliki teori tersendiri tentang lukisan dan senyum misterius Mona Lisa.Selain itu, Piccirillo mengklaim telah menemukan gambar tersembunyi yang serupa dalam karya pelukis Renaisans lain seperti Titian dan Rafael.“Waktu melihat kerbau saya berpikir ‘Ya Tuhan’ aku sadar bahwa aku benar-benar menemukan sesuatu. Aku tidak bisa percaya apa yang telah aku temukan, membuat saya menyadari inilah yang selama ini kucari.” tutur Piccirillo yang dikutip Mail Online.

Foto : Lukisan Monalisa terbalik (Orange)

Sumber : http://fanoubaybi.blogspot.com

Fakta Menarik Menara Eiffel: Ulang Tahun Ke-128 Dirayakan Google Dodle


Simaklah :D

31-3-1889: Kisah Tragis di Balik Menara Eiffel

30-3-1889: Kisah Tragis di Balik Menara Eiffel

31 Maret 1889 atau 126 tahun lalu, sebuah menara kokoh yang menjadi landmark kota Paris dibuka untuk yang kali pertama. Menara Eiffel rampung dibangun dan siap dinikmati oleh masyarakat setempat.

Menara Eiffel awalnya dibangun sebagai salah satu peserta pameran mahakarya dunia l’Exposition Universelle di Paris yang digelar bertepatan dengan 100 tahun Revolusi Prancis.

Bangunan ini dibangun selama dua tahun dari 1887 hingga 1889, oleh seorang arsitek bernama Gustave Alexandre Eiffel. Meski bangunan ini sejatinya bukan lah hasil rancangannya, melainkan dua anak buahnya, Maurice Koechlin dan Emile Nouguier. Arsitek Charles Leon Stephen Sauvestre juga turut andil dalam pembangunan Eiffel. 

Menara ini terdiri dari tiga lantai. Lantai pertama pada ketinggian 57 meter, lantai kedua 115 meter, dan lantai ketiga 276 meter. Tinggi menara ini 312,27 meter, ditambah tinggi antena menjadi 324 meter.

Hingga tahun 1930, Eiffel yang dibangun dari besi seberat 15 ribu ton ditetapkan sebagai menara tertinggi di dunia.
Meski terlihat kokoh, menara ini sebenarnya masih bisa sedikit digoyahkan ketika hari sedang berangin. Bahkan pada tahun 1999, angin ribut telah menyebabkan menara bergerak 13 cm dari kedudukan asalnya. Malah pernah terjadi, akibat Matahari, Eiffel sedikit condong hingga 18 cm. 

Selain itu, ada banyak kisah di balik eksistensi menara ini. Mulai dari penolakan warga setempat lantaran dianggap berbahaya ketika suatu saat roboh. Setelah dibangun, menara ini seharusnya dibongkar 20 tahun kemudian.

Akan tetapi, pada akhirnya, penduduk justru berbalik sikap menjadi setuju lantaran mahakarya ini membawa keuntungan bagi imej Kota Paris.

Franz Reichelt

Selain itu, ada juga kisah tragis terkait keberadaan Eiffel, yang menimpa seorang penemu parasut Franz Reichelt. Ketika itu, ia hendak menguji coba jaket parasut ciptaannya dengan terjun dari lantai tiga Eiffel yang tingginya 276 meter.

Namun nasib nahas menimpa. jaket parasutnya tak berfungsi. Reichelt pun terjatuh di tanah yang saat itu diliputi es salju. Ia kemudian dilarikan ke rumah sakit terdekat, namun nyawanya tak tertolong.

Sahabat Reichelt sebenarnya telah mencegahnya melakukan uji coba itu. Otoritas setempat juga sempat tidak memberikan izin Menara Eiffel dijadikan lokasi uji coba. Tapi pria itu bersikeras untuk mencobanya, alih-alih menyuruh orang lain yang melakukannya.

Nasi telah menjadi bubur. Meski nyawa melayang, tak ada yang sia-sia dari uji coba jaket parasut ini. Rancangan Reichelt ini kemudian dikembangkan menjadi baju parasut yang akhirnya digunakan oleh para pilot dan awak pesawat zaman sekarang.
Kisah menarik lain terkait Eiffel adalah ketika zaman Perang Dunia II. Ketika Prancis Nazi, Adolf Hitler ingin naik Eiffel untuk melihat pemandangan. Tapi kabel lift menara putus karena dipotong tentara Prancis. Kabarnya, Hilter nekat memanjat Eiffel hingga puncak.

Senin, 30 Maret 2015

Penggunaan Bahasa Jawa Yang Baik Dan Benar


Simaklah :D


Bahasa dan budaya merupakan dua aspek kehidupan manusia yang tidak terpisahkan satu dari yang lain. Bahasa adalah entitas suatu budaya. Dalam bahasa itu terkandung muatan budaya penuturnya, termasuk nilai moral dan etika. Ia sekaligus merupakan sarana mengekspresikan budaya itu sendiri. Ia juga merupakan cerminan budaya pemakainya. Sapir (dalam Blount,1974) menyatakan bahwa kandungan setiap budaya terwujud di dalam bahasanya. Tidak ada materi bahasa, baik isi maupun bentuk yang tidak dirasakan sebagai melambangkan makna yang dikehendaki, tanpa memperdulikan sikap apapun yang ditunjukkan oleh budaya lain. Wittgenstein (1981) juga dengan tegas menyatakan bahwa dalam bahasa yang kita pergunakan tersirat suatu orientasi hidup atau apa yang disebut weltanshauung. Orientasi hidup ini bukan saja mencakup konsep-konsep yang kita anut mengenai alam sekitar kita, tetapi juga kebudayaan, perasaan serta tackhayul-tachayul. Keyakinan yang kita anutpun juga tersirat dalam bahasa yang kita pergunakan.

Bahwa bahasa merupakan perwujudan budaya masyarakat pemiliknya disadari benar oleh masyarakat Jawa. Hal ini terungkap dalam pepatah yang sering kita dengar ajining diri dumunung ana ing lathi ’, yang artinya harga diri seseorang dinilai dari tutur katanya. Berbicara dengan bahasa yang sopan, dengan kata yang manis, dengan suara yang halus akan membuat simpatik. Sebaliknya orang yang berbicara dengan kasar, tidak sopan dan tidak memperhatikan perasaan orang lain akan menimbulkan masalah dan meruntuhkan harga dirinya. Penghargaan orang terhadap orang lain bersumber dari tutur katanya. Apabila tutur kata seseorang membuat orang lain enak dan teduh, orang lain akan senang dan ia akan dihormati. Sebaliknya tutur kata sinis, pedas akan mendatangkan rasa benci dari pihak lain.Pepatah ini mengandung makna bahwa seseorang akan dihargai oleh orang lain (masyarakat) bukan karena kekayaan atau jabatannya, tetapi karena kesantunan bahasa (unggah-ungguhing basa) yang dipergunakannya. Dalam bahasa yang dipergunakan itulah jati diri seseorang terungkap. Orang yang santun, santun pula bahasanya. Dalam pergaulan sedapat mungkin orang Jawa berbuat kebajikan dalam bertutur kata.

Salah satu ciri bahasa Jawa adalah adanya sistem tingkat tutur (unda usuk), yang tidak dimiliki oleh setiap bahasa di dunia ini. Bagi orang yang tidak paham benar mengenai bahasa Jawa akan mengatakan bahwa tingkat tutur bahasa Jawa sulit dan memupuk sikap tidak demokratis antara penutur dan mitra bicaranya. Namun sebetulnya bila nilai filosofis tingkat tutur itu dipahami benar, justru tingkat tutur bahasa Jawa mengajar manusia Jawa nilai-nilai kemanusiaan yang sangat dalam, antara lain andap asorempan papan, saling menghormati, pengakuan akan keberagaman, aja dumeh dan tepa seliro. Sistem tingkat tutur bahasa Jawa itu merupakan pertanda pentingnya adat sopan santun yang menjalin sistem tata hubungan manusia Jawa (Soepomo, 1979: 59).

Kesantunan Manusia Jawa

Sejak kecil seorang anak Jawa dididik oleh orang tua untuk menjadi manusia Jawa yang otentik. Manusia Jawa yang otentik adalah manusia selalu berperilaku santun terhadap orang lain. Berperilaku santun artinya berperilaku sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan konflik. Manusia Jawa yang otentik selalu menjaga toto tentrem atau keharmonisan, makro dan mikro kosmos. Manusia Jawa otentik adalah manusia jawa yang mempunyai unggah-ungguh, totokrama. Kata santun adalah kata sifat dan kata bendanya adalah kesantunan. Kesantunan adalah tatacara atau kebiasaan, norma atau adat yang berlaku dalam suatu masyarakat. Kesantunan merupakan tata cara atau aturan perilaku yang menjadi kesepakatan bersama oleh suatu masyarakat tertentu. Bagi masyarakat Jawa kesantunan kerap disebut sopan santun, unggah-unnguh, atau tata krama atau etika

Kesantunan dalam masyarakat Jawa didominasi oleh rasa. Inilah yang membedakan antara barat dan Jawa lebih-lebih pada zaman aliran psikologi pikir yang menyombongkan kemampuan pikir seperti yang dikemukakan oleh Rene Descarter ’cogito ergo sum’ (saya ada karena saya berpikir). Esantuna bagi manusia Jawa adalah terkait dengan olah rasa. Yang dikategorikan rasa bukan akal atau rasional, tetapi yang berkaitan dengan hati. Bila orang jawa berkata yang saya pikir, sejatinya yang ia maksud adalah yang saya rasakan. Rasa sering dikatakan manah. Oleh karena itu orang jawa sering mengatakan ’nek tak rasakake’, ’menawi kula galih’, ’menawi kula raosaken’, ’menawi kula manih’, ’saking manah kula’, dan sebagainya. Oleh karena itu dalam bertindak, berbahasa, berkomunikasi, dalam mengambil keputusan tidak hanya berdasarkan logika pikir, tetapi rasa dan pikir atau nalar terjadi secara otomatis.

Etika atau kesantunan tersebut merupakan ukuran peradaban sebuah bangsa (Purwadi, 2008). Tinggi rendahnya peradaban suatu bangsa dapat dilihat seberapa jauh setiap warganya bertindak sesuai dengan norma yang disepakati bersama. Bila setiap anggota masyarakat mentaati norma dan etika, tidak akan ada konflik di dalam masyarakat, dan hubungan antar anggota masyarakat menjadi harmonis, dan selaras terwujudlah keadaan ideal ’toto tentrem’.

Kerukunan dan saling menghormati merupakan dua kaidah penting yang menjadi dasar tata kehidupan bermasyarakat atau etika manusia Jawa (Magnis-Suseno, 1984:38). Prinsip kerukunan itu mengatakan bahwa dalam setiap situasi manusia Jawa hendaknya bersikap sedemikian rupa untuk tidak menimbulkan konflik. Bila antar warga masyarakat rukun hubungan antar mereka menjadi harmonis. Rukun berarti harmonis atau selaras, tanpa perselisihan dan pertentangan. Masyarakat dalam keadaan seperti ini disebut toto tentrem. Keadaan toto tentrem inilah yang diidamkan manusia Jawa.

Kaidah kedua menuntut agar dalam berbicara dan membawakan diri manusia Jawa selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Terhadap orang yang lebih tinggi statusnya seseorang Jawa hendaknya menunjukkan rasa hormat dan sungkan. Perasaan sungkan seperti ini disebut rasa pekewoh atau rikoh. Perasaan pekewoh dan sungkan ini menuntut seorang Jawa untuk selalu berhati-hati dalam bertindak dan berbicara, dan oleh karenanya manusia Jawa tidak akan sembrono dalam membawakan diri maupun dalam berbicara. Bagi manusia Jawa kekeliruan, ketidak hati-hatian atau kesembronoan dalam berperilaku dan berbicara akan dianggap tidak sopan atau tidak punya unggah-ungguh.

Orang Jawa yang otentik, yang ingin selalu menjaga keselarasan atau keharmonisan atau ketenteraman memiliki sifat (a) andhap asor, (b) tepo seliro), (c) empan papan, dan (d) ojo dumeh. Andhap asor tidak berarti rendah diri, tetapi rendah hati. Kata andhap asor sejajar dengan lembah manah (Javanese Encyclopedia, 2008). Orang yang bersikap andhap asor tidak mau menonjolkan diri meskipun sebenarnya ia memiliki kemampuan. Orang Jawa sangat mengutamakan sifat andhap asor bila berhubungan dengan orang lain. Orang yang bersikap andhap asor akan ditinggikan atau dihormati oleh orang lain. Sebaliknya orang merendahkan orang lain dan tidak menunjukkan rasa hormat kepada orang lain baik dalam bertuturkata maupun bertindak ia akan dianggap tinggi hati. Misalnya seorang pimpinan suatu institusi yang andhap asor tidak akan menunjukkan kekuasannya, baik dalam bertutur kata maupun dalam bertindak kepada anak buahnya.

Meskipun ia seorang pimpinan, ia tidak akan menonjolkan diri, ia akan selalu menaruh hormat kepada anak buahnya sesuai dengan pangkat dan kedudukan meraka. Orang yang memiliki sikap andhap asor tidak mudah dijerumuskan oleh pujian. Ia tidak akan terpeleset hanya karena gila hormat. Kalau dicela ia tidak akan mudah marah. Justru ia akan mawas diri. Orang yang mempunyai sikap atau rasa andhap asor akan selalu mencegah terjadinya emosi yang meletup-letup.


Sikap andhap asor biasanya dibarengi dengan sikap tepo seliro. Orang yang mepunyai sikap tepo seliro tidak akan mudah menyalahkan atau mencela orang lain. Ia tidak akan melakukan hal yang buruk kepada orang lain, karena ia juga tidak akan mau diperlakukan seperti itu. Dalam setiap pergaulan dengan orang lain, dalam berbicara dan berperilaku orang Jawa selalu berhati-hati. Sebelum bertindak dan berbicara ia akan selalu mawas diri, apa yang akan dilakukan dan diucapkan harus dipikir dengan hati-hati agar tidak mempermalukan, menyakiti hati atau menyinggung perasaan orang lain.

Melalui konsep tepo seliro inilah segala sesuatu yang ada pada orang lain dapat dirasakan, seakan-akan sebagai sesuatu yang menjadi miliknya sendiri. Oleh karena itu berbagai penilaian negatif terhadap segala sesuatu yang ada pada orang lain akan dirasakan sebagai penilaian terhadap diri sendiri.

Manusia Jawa yang otentik memiliki sikap empan papan. Prinsip empan papan sama dengan angon basa. Sikap empan papan adalah sikap yang menunjukkan pertimbangan tidak bertentangan dengan tempat, waktu, dan keadaan dalam berperilaku untuk menjaga keselarasan. Orang Jawa selalu dituntut untuk berhati-hati dalam berbicara. Dalam berbicara seseorang harus mempertimbangkan apa yang dibicarakan, kepada siapa, tentang apa, dimana, dalam keadaan apa, dan bagaimana cara bicaranya agar tidak terjadi konflik, agar suasana yang harmonis, selaras, tenteram terpelihara. Bagi orang Jawa kebenaran mengenai sesuatu sikap dan tindakan itu relatif. Artinya, baik atau benar pada suatu waktu, tempat atau bagi orang lain dapat menjadi tidak benar atau tidak baik bila diterapkan pada waktu, tempat atau pada orang lain.

Dalam pergaulan sehari-hari konsep empan papan secara tidak disadari telah diwujudkan dalam komunikasi verbal di masyarakat. Dalam komunikasi sehari-hari pembicara harus memilih ragam bahasa atau tingkat tutur yang tepat. Tingkat tutur yang dipilih harus sesuai dengan kedudukan diri sendiri dan kedudukan mitra bicara. Kesalahan pemilihan tingkat tutur bisa menjadi suasana tidak nyaman, bahkan bisa dicap tidak baik atau tidak pantas, atau dicap njangkar atau kurang ajar.
\
Tingkat Tutur Bahasa Jawa Selayang Pandang

Salah satu ciri obyektif bahasa Jawa ialah bahwa basa Jawa memiliki tingkat tutur yang cukup canggih dan rapi. Yang dimaksud dengan tingkat tutur atau undha usuk atau speech level adalah suatu sistem kode (kebahasaan) yang menyampaikan variasi rasa hormat atau kesantunan yang memiliki unsur kosa kata tertentu, aturan sintaktis tertentu, aturan morfologis dan fonologis tertentu (Soepomo, 1979:8-9). Setiap kosa bahasa Jawa memiliki variasi bentuk morfologis yang menunjukkan tingkat rasa hormat atau kesopanan, ada tingkat halus dan tidak halus (atau kasar), atau tingkat Ngoko (N), Madyo (M) dan Krama (K).

a. 
Bentuk Tingkat Tutur Bahasa Jawa

Menurut bentuknya, secara garis besar tingkat tutur bahasa Jawa dibagi menjadi 5 tingkatan,

1. basa ngoko,
2. basa madya,
3. basa krama,
4. basa kedaton atau bagongan, dan
5. basa kasar.

Kelima tingkat tutur tersebut secara rinci semuanya dibagi menjadi 13 tingkat, yaitu:

1. ngoko lugu,
2. ngoko andhap antya basa,
3. ngoko andhap basa antya,
4. madyo ngoko,
5. madyatara,
6. madyakrama,
7. mudokrama,
8. kramantara,
9. wredakrama,
10. krama inggil
11. krama deso,
12. basa kedaton atau bagongan, dan
13. basa kasar.

Klasifikasi tingkat tutur Bahasa Jawa ini secara ringkas dapat digambarkan dalam bagan berikut.
Dari bagan tersebut diatas tampak bahwa tingkat Basa Ngoko dibagi menjadi tiga tingkat, yakni

1. Ngoko lugu,
2. Ngoko andhap antya basa, dan
3. Ngoko basa

Basa ngoko lugu.
Tingkat tutur ini dipakai dalam percakapan sehari-hari dalam situasi tidak resmi oleh pembicara atau O1 kepada mitra bicara atau O2 yang (1) memiliki status sosial yang sama, (2) sudah saling kenal dan akrab. Tingkat tutur ini juga dipergunakan oleh pembicara (O1) kepada kerabat (O2) yang lebih muda (misalnya adik). Dalam berbicara kepada orang asing yang belum memahami tingkat tutur Bahasa Jawa, orang Jawa juga menggunakan ngoko lugu.

Contoh:

• Sapa sing methuk tamu ana ing stasiun Gubeng? (Siapa yang menjemput tamu di stasiun Gubeng?)
• Aku arep menyang pasar. (Saya mau pergi ke pasar)
• Adhiku arep ditukoke wedhus

Ngoko andhap antya basa.
Tingkat tutur ini oleh

1. pembicara yang lebih tua kepada mitra bicara (O2) yang statusnya lebih tinggi,
2. antar priyayi yang sudah saling kenal dan akrab. Kata ngoko ’kowe’ misalnya, diganti dengan bentuk krama ’seliramu’.
Contoh:

• Apa wingi seliramu (Kangmas) sido tindak menyang Ngayogya?
• Wulan Nopember iki seliramu (Mbakyu) tak aturi rawuh ing kongres Basa Jawa ing Surabaya.
• Adiku arep dipundutke wedhus ta, Pak.

Ngoko Andhap Basa Antya.
Ngoko andhap basa antya dipergunakan dalam percakapan antara O1 dan O2 yang telah akrab dan saling menghormati. Bentuk tingkat tutur ini seperti antya basa perbedaannya ialah bahwa dalam percakapan ditambah dengan bentuk krama, sesuai dengan perasaan penutur. Bentuknya menjadi: ngoko-krama-krama inggil.
Contoh:

• Jare mrisani kethoprak, saiki tindak menyang endi?
• Mau esok tindak kantor, sore iki ngrawuhi pepanggihan ana ing RT.
• Adhik arep dipundhutke menda, to, Pak

Tingkat Madya, pada dasarnya adalah tingkat tutur krama yang telah mengalami proses penurunan, proses informalisasi dan ruralisasi (Soepomo, 1979:12).
Dalam diagram juga tampak bahwa, tingkat Madya dapat dibagi menjadi tiga tingkat, yakni

1. Madya Ngoko,
2. Madyatara, dan
3. Madya Krama.

Sebetulnya pembagian madya menjadi tiga ini sifatnya kontinum, ada yang bertingkat rendah disebut madya ngoko, ada yang bertingkat sedang disebut madyantara, dan ada yang bertingkat tinggi disebut madya krama.

Tingkat tutur Madya Ngoko dipergunakan oleh sesama teman, pembicara dan mitra bicara memperlakukan pembicara sederajat, misalnya antar pedagang (bakul). Tingkat tutur ini juga dipakai antara atasan kepada bawahan, priyayi kepada bawahan dalam suasana akrab, tidak resmi dan santai. Bentuk tingkat tutur ini: madya, ngoko, kowe diganti ”ndiko”.
Contoh:

• Ndiko wayah ngeten kok lungo teng pasar.
• Kulo ajeng mantuk riyin.

Tingkat Madyatara
dipakai oleh pembicara kepada mitra bicara yang lebih muda atau yang mempunyai derajat yang lebih rendah. Seorang priyayi, bila berbicara dengan saudara yang lebih muda, atau seorang priyayi bila berbicara dengan priyayi lain yang sederajat dan telah akrab memilih tingkat tutur ini. Bentuknya ialah: madya, ngoko, ’kowe’ (kamu) diganti ’kang sliro’ atau ’sampeyan’.
Contoh:

• Sampeyan (kang sliro) napa duwe perlu wigati kok gita-gita?
• Kang sliro saiki nyambut gawe ana ngendi?

Tingkat tutur Madya krama
dipergunakan untuk menghormati orang lain, tetapi sifatnya sementara, dalam suasana yang akrab. Dalam tingkat tutur ini tidak ada kosa kata ngoko, kecuali akhiran –e, dan –ake. Bentuk tingkat tutur ini ialah madya, krama, dan krama inggil. Kosa kata ’kowe’ diganti sampeyan.
Contoh:

• Wanci ngeten kok sampun kondur, napa empun rampung pandamelan sampeyan?
• Selanjutnya dalam giagram tampak bahwa tingkat basa krama terdiri dari lima tataran,

1. muda krama,
2. kramantara,
3. wredakrama,
4. krama inggil, dan
5. krama desa.

Pembagian tingkat tutur krama ini sifat juga kontinuum, seperti halnya pembagian tingkat tur madya, artinya ada krama yang rendah, menengah dan tinggi atau inggil.
Tingkat Muda krama dipakai oleh orang muda yang berbicara kepada orang tua, murid kepada guru, atau antar teman kepada teman yang belum akrab. Bentuknya ialah: krama, kosa kata krama inggil untuk mitra bicara, ’kowe’ diganti dengan ’panjenengan’, awalan dan akhiran krama.

Contoh:

• Lho kok, kang Mas, panjenengan punapa saestu tindak dhateng rapat, nitih sepeda motor punapa becak?

Tingkat Kramantara.
Tingkat tutur ini dipergunakan dalam pembicaraan antar sesama, tetapi si pembicara tingkat status sosialnya lebih tinggi, bukan di tempat umum. Bentuk tuturannya adalah krama, dengan awalan dan akhiran krama. Kata ganti orang kedua ’kowe’ menjadi ’sampeyan’.
Contoh:

• Sampeyan punapa sampun mlebet dados anggotanipun partai politik, partai punapa?
Tingkat tutur Basa Krama Wredakrama dipakai dalam pembicaraan oleh orang yang lebih tua kepada mitra bicara yang umurnya lebih muda. Bentuk tuturannya ialah: krama, awalan, dan akhiran ngoko.

Contoh:

• Kados pundi nak, rembag bab kemajenganipun nagari ing parlemen?

Krama inggil
dipakai dalam pembicaraan oleh orang yang tinggi status sosialnya, karena asal-usulnya dan karena jabatannya; bila yang diajak bicara lebih tua umurnya dari yang berbicara. Tingkat ini untuk menunjukkan rasa hormat kepada yang diajak bicara.

Contoh:

• Nyuwun duka Gusti, kala wingi dalem mboten saged dherekaken tindak dalem, awit anakipun dalem saweg sakit sanget.

Krama desa.
Biasanya tingkat krama deso dipakai dalam komunikasi oleh orang desa yang tidak memahami sistem tingkat tutur atau kaidah bahasa krama. Kosa kata krama dijadikan krama karena ingin menunjukkan rasa hormat kepada orang yang diajak bicara. Kosa kata yang menunjukkan tempat dan nama sering dijadikan krama. Misalnya Gunung Kidul menjadi ’Redi Kidul’, Boyo lali menjadi Boyo kesupen, Sawahan menjadi ’Sabinan’. Sering juga kata pertama dijadikan krama, dan kata yang menunjukkan dirinya sendiri dijadikan krama. Bentuk tingkat tutur ini adalah: krama, krama deso, kadang menggunakan krama inggil.

Contoh:

• Sampeyan punapa kersa mundut sawo kagungan kula piyambak?
• Kula badhe tindak dateng sabinan methuk simbah.
• Punapa panjenengan saking Medunten?

Pembagian basa krama menjadi lima bagian tersebut di atas sebetulnya adalah pembagian yang dilakukan oleh para ahli kebahasaan deskriptif pada zaman sebelum perang. Dalam kehidupan sehari-hari sekarang tingkat wredo krama dan kramantara jarang dipergunakan.
Basa kedaton atau basa bagongan adalah bahasa khusus yang dipakai oleh anggota kerajaan dan para pembantu (abdi dalem) bila ada pertemuan dengan raja atau dalam percakapan di lingkungan kerajaan. Kata-kata yang termasuk basa kedaton antara lain manise (aku), pukulun (kowe), jengandiko (kowe), enggeh, punapi, boya (ora), seto (doyan), darbe (duwe), besaos (bae). 
Contoh:

• Pakenira mekaten ampun boya kekirangan punapa-punapi, bebasan kantun dhahar lan tiem besaos
Yang terakhir adalah Basa kasar.
Basa Kasar dipakai oleh pembicara yang merendahkan mitra bicara atau orang lain. Basa Jawa Kasar juga dipakai oleh pembicara yang marah, emosional. Bentuk basa kasar ialah Ngoko dengan menggunakan kata-kata kasar dan kotor.

Contoh:

• Yen kowe ora jegos, wis minggato kono.

b. Makna Tingkat Tutur
Sebetulnya bila diringkas bahasa Jawa sehari-hari ada 4 tataran,

1. Ngoko,
2. Madya,
3. Ngoko, dan
4. basa kasar.

(1) Tingkat tutur Ngoko
Tingkat tutur Ngoko mencerminkan rasa akrab (solider) antara pembicara dan mitra bicara. Artinya, pembicara tidak memiliki rasa segan, hormat atau rasa pakewoh terhadap mitra bicara. Orang yang ingin menyatakan keakraban terhadap mitra bicara, atau sesamanya, tingkat Ngoko inilah yang tepat untuk dipakai. Teman yang saling akrab biasanya saling berbicara ngoko. Maka akan menjadi aneh bila antar teman yang sudah kenal dan akrab berbicara dalam tingkat madya atau krama. Bila antar teman yang akrab berbicara dalam tingkat tutur krama maka hubungannya menjadi tidak akrab dan suasana bicara yang biasanya berubah menjadi resmi.

Bila demikian maka rasa keakraban menjadi hilang. Orang yang berstatus lebih tinggi, misalnya, guru terhadap murid, orang tua terhadap anak, pantas menggunakan tingkat ngoko. Akan menjadi aneh dan lucu bila seorang guru memakai bahasa krama kepada muridnya. Bila seorang guru berbicara kepada muridnya atau seorang atasan berbicara dalam bahasa krama kepada bawahanya merupakan pertanda marah atau sindiran.
Antara orang yang memiliki hubungan akrab tetapi saling menghormati dapat memakai tingkat ngoko halus (antya basa dan basa antya). Kalangan pegawai di kantor, antara guru di sekolah menggunakan tingkat tutur ngoko alus atau basa antya dan antya basa.

(2) Tingkat tutur Madya
Tingkat tutur madya adalah tingkat tutur menengah antara ngoko dan krama. Tingkat tutur ini menceminkan rasa sopan, tingkat tutur ini semula adalah tingkat tutur krama tetapi sudah mengalami penurunan atau perkembangan yang lebih rendah statusnya, yang sebut kolokialisasi (menjadi bahasa sehari-hari yang tidak formal, atau perubahan dari formal menjadi tidak formal (Soepomo, 1979: 15). Tingkat madya ini, oleh karena itu, bagi kebanyakan orang disebut setengah sopan. Orang yang disapa dengan tingkat tutur ini biasanya orang yang tidak begitu disegani atau tidak sangat dihormati.

Orang desa yang dihormati biasanya disapa dengan tingkat tutur madya. Kepala kantor terhadap rekannya yang tidak memiliki pangkat yang sama, orang yang sudah dewasa, orang lanjut usia juga menggunakan tingkat tutur ini.
(3) Tingkat Krama
Tingkat tutur krama ialah tingkat tutur yang mencerminkan sikap penuh sopan santun. Tingkat tutur ini menandakan adanya tingkat segan, sangat menghormati, bahkan takut. Seorang pembicara (O1) yang menganggap bahwa mitra bicaranya (O2) orang yang berpangkat, berwibawa, belum dikenal, akan menggunakan tingkat tutur ini. Murid terhadap guru, seorang bawahan kepada atasan.

Seorang bawahan yang berbicara dengan atasan, atau seorang murid kepada gurunya memakai bahasa ngoko dkatakan tidak sopan atau njangkar atau nukak krama.
Seorang ibu bila berbicara dengan anaknya sering menyelibkan kata-kata krama bila berbicara dengan anaknya. Seorang guru SD atau TK juga sering menyelipkan kata-kata krama bila berbicara dengan muridnya. Ini semua dilakukan bukan untuk menunjukkan rasa hormat, tetapi untuk mendidik atau membiasakan berbicara dalam bahasa krama kepada anak atau murid-murid.

Basa krama bukan hanya ditandai oleh bentuk sintaktis dan morfologis, tetapi juga suara dan bentuk tubuh. Seseorang yang berbahasa krama berbicara dengan suara lembut, pelan dengan badan yang sedikit membungkuk.

(4) Basa kasar
Basa jawa kasar adalah basa yang derajatnya paling rendah. Bahasa tingkat ini adalah bahasa sehari-hari yang dipergunakan oleh orang yang tidak berpendidikan yang tidak punya sopan santun sama sekali, orang yang sedang marah, atau orang yang meremehkan orang lain. Perampok atau penjahat lainnya ujaran yang dipakai Bahasa Jawa kasar, penuh dengan kosa kata seharian (kolokial) yang kasar, kosa kata tabu dan kasar. Nada bicara pemakai basa Jawa tidak lembut tetapi kasar dengan suara tinggi, dan dibarengi ada hentakan (bentakan). Posisi tubuh pembicara tidak ada rasa simpatik, sombong.

Orang yang sedang marah lupa akan unggah-ungguh yang harus ditaati dalam berinteraksi dengan orang lain dan dalam situasi yang terjadi. Ia tidak perduli dengan status orang yang diajak bicara.

c.  Pemilihan Tingkat Tutur
Faktor yang menentukan pemilihan tingkat tutur adalah tingkat kesantunan pembicara sesuai dengan siapa ia berbicara, siapa yang dibicarakan dan dalam situasi apa. Dengan kata lain pemilihan tingkat tutur merupakan perwujudan tingkat kesantunan pembicara dalam pergaulan sosial di masyarakat. Seperti yang telah dibicarakan terdahulu, yang dimaksud kesantunan adalah kepatuhan berperilaku sesuai dengan aturan, norma adat yang telah disepakati dalam budaya bermasyarakat, yang disebut tata krama, sopan santun, unggah ungguh atau etika.

Orang Jawa yang otentik yang ‘njowo’ yang memiliki unggah ungguh akan memilih unggah ungguhing bahasa yang tepat. Dalam memilih tingkat tutur dalam berinteraksi ia akan berusaha sedemikian rupa sehingga keharmonisan tata hubungan dengan mitra bicara dan orang yang dibicarakan terpelihara, tidak menimbulkan konflik lahir dan batin, tidak merusak kerukunan dan ketenteraman batin mitra bicara dan orang yang dibicarakan. Kesantunan atau unggah ungguh pergaulan dalam masyarakat berkaitan erat dengan roso atau sikap batin seseorang kepada mitra bicara. Oleh karena itu seperti dibicarakan terdahulu kesantunan itu terkait erat dengan

1. rasa pekewoh,
2. tepo selira,
3. empan papan,
4. andhap aso.

Tingkat keakraban hubungan antara pembicara, orang yang diajak bicara dan yang dibicarakan menentukan penggunaan tingkat tutur Ngoko, Madya atau Krama. Tingkat tutur Ngoko merupakan perwujudan bahwa si pembicara tidak memiliki rasa pekewoh kepada mitra bicara, mungkin karena hubungan antara mereka sudah akrab, atau si pembicara memiliki status sosial yang lebih tinggi dari pada mitra bicara. Penggunaan ngoko halus (antya basa dan basa antyo) merupakan perwujudan bahwa antara si pembicara akrab dan saling menghormati.

Orang yang sedang marah, kesakitan, dalam keadaan batin yang mengandung emosi yang tinggi akan berbicara dengan tingkat ngoko kasar atau basa Jawa kasar yang sering ditandai dengan kosa kata yang mengandung makna tabu.

Watak O1 juga terwujud dalam tingkat tutur yang pakai. Orang yang bagi orang Jawa disebut diri ’sombong’ suka memakai tingkat ngoko kepada orang yang status sosial atau keadaan ekonominya lebih dari padanya, tanpa meperdulikan tingkat usia.

Tingkat krama merupakan perwujudan sikap sangat hormat yang dimiliki oleh pembicara terhadap orang yang diajak bicara. Tingkat tutur ini merupakan perwujudan rasa segan atau pekewoh si pembicara terhadap orang yang diajak bicara. Tinggi-rendahnya rasa hormat, pekewoh seseorang menentukan pemakaian kata-kata krama ingiil. Orang yang wataknya halus cenderung memakai basa krama (madya atau inggil) kepada orang lain, walaupun O2 itu sangat rendah tingkat status sosial dan ekonominya. Orang yang mempunyai sifat atau sikap andhap asor juga terwujud dengan tingkat tutur yang dipergunakan. Orang yang andhap asor akan memilih kosa kata ngoko bila ia merujuk diri sendiri dan menggunakan kosa kata krama (madya atau inggil) bila merujuk kepada mitra bicara (02).
Sikap hormat kepada orang ketiga (O3) yang hadir dalam pembicaraan juga terwujud dalam pemilihan tingkat tutur. Kehadiran orang ketiga yang dihormati dan sangat memperhatikan sopan santun sering mengubah pilihan tingkat tutur. 

Antara dulu dan sekarang
Bagi manusia Jawa menekankan perlunya pendidikan sopan santun. Orang tua Jawa menginginkan anaknya menjadi manusia jawa yang ‘Njowo’. Manusia yang ‘njowo’ adalah yang tahu norma-norma adat kesantunan Jawa atau tata krama yang mengatur semua bentuk interaksi langsung dengan masyarakat, seperti yang telah dibicarakan terdahulu. Tatakrama ini menyangkut gerak badan, urutan duduk, isi dan bentuk suatu pembicaraan. Tingkat tutur bahasa jawa merupakan sarana yang cocok untuk pendidikan kesantunan ini.

Pada zaman sebelum kemerdekaan, banyak keluarga elite yang mengajarkan anak-anaknya berbahasa krama terhadap orang tua atau orang yang dihormati. Hal ini dilakukan agar anak-anak mereka tahu adat sopan santun dengan baik. Di sekolah Bahasa dan nilai-nilai budaya Jawa yang dulu besar dan jaya, sekarang tinggal kenangan. Bahasa Jawa semakin terdesak oleh bahasa Indonesia yang semakin besar dan berkembang.

Tidak ada karya sastra besar yang dihasilkan oleh pujanga Jawa sekaliber Ronggo Warsito. Para tokoh dan pemerhati bahasa Jawa khawatir semakin terkikis dan mati tergeser oleh bahasa Indonesia yang semakin besar. Bahasa asingpun, terutama bahasa Inggris, menjadi ancaman yang potensial bagi keberlangsungan bahasa Jawa. Demi kepentingan ilmu pengetahuan dan teknologi, bahasa Jawa sering dikorbankan. Banyak juga orang tua yang tidak mengajarkan bahasa Jawa kepada anaknya karena mereka takut anaknya tidak dapat mengikuti pelajaran di sekolah yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Para pendidik juga menyadari bahwa dengan mengajarkan tingkat tutur krama yang baik, murid-murid akan memiliki sopan santun yang baik.

Karena arus globalisasi dan teknologi serta tarik menarik antara budaya barat dan budaya Timur Tengah manusia Jawa telah kehilangan jati dirinya. Manusia Jawa tidak Jawa lagi njowo. Banyak diantara mereka yang sudah tidak lagi bangga dengan bahasa dan budayanya sendiri. Bila orang Jawa dulu mengajarkan anaknya untuk berperilaku santun dan berbahasa Jawa sesuai dengan unggah-unnguh yang benar, tidak demikian orang tua Jawa sekarang.

Karena berbagai faktor, antara lain faktor ekonomi, teknologi yang menghendaki manusia bergerak cepat, banyak orang tua yang kurang malah mungkin lupa akan nilai-nilai kesantunan yang harus dihayati dan diajarkan kepada anak-anaknya akibatnya.

Budaya Jawa telah mengalami perubahan yang sangat mendasar dan sangat memprihatinkan. Banyak kalangan yang mengkhawatirkan keadaan ini. Banyak Manusia jawa yang memudar jati dirinya sebagai manusia Jawa. Kesantunan, tata krama yang mestinya di’uri-uri’ dilupakan bahkan diremehkan. Rasa tepo seliro, empan papan, andhap asar, pekewuh, isin, tidak dimaknai sebagai nilai yang luhur. Hilangnya rasa hormat, rasa tepo seliro, dan unggah-ungguhing basa tercermin dalam bahasa yang mereka pergunakan. Banyak orang Jawa yang lebih menyukai bahasa Indonesia atau bahasa asing, seperti bahasa Inggris atau bahasa Arab dari pada bahasanya sendiri, bahasa jawa. Mereka merasa lebih sreg menyampaikan rasa hormat dalam bahasa Indonesia dari pada basa krama.

Penggunaan basa (krama atau madya) tidak hanya berkurang dikalangan generasi muda, dikalangan teman dan kolega, tetapi juga di kalangan lembaga-lembaga pendidikan dan keluarga. Banyak orang tua dan pendidik yang lebih menyukai anak-anak dan murid-murid sekolah kalau berbicara menggunakan bahasa Indonesia atau basa ngoko. Hal ini lain dengan orang tua dan para guru zaman dahulu. Orang tua dahulu, terutama yang ingin dianggap tinggi martabatnya, yang dianggap orang tua yang tahu unggah-ungguh, atau adat sopan santun menginginkan anaknya agar ber ‘basa’ terhadap orang tua dan sanak saudara yang mempunyai darah lebih tua. Bila seorang anak tidak bisa ‘basa’ maka orang akan berkata ‘kuwi anake sapa kok ora duwe unggah-ungguh’ atau akan menyimpulkan bahwa orang tuanya tidak berpendidikan. Orang tua sekarang tidak merasa ‘isin’ bila anaknya tidak bisa ‘basa’.

Kesantunan, tata krama, rasa isin melemah bersama dengan melemahnya kemauan dan kemampuan ‘tatakramaning basa’.



 

Copyright © 2010 Kalo Bukan Gua Siapa Lagi ?

Template N2y Suka-Suka by Nano Yulianto