Sejarah Perkembangan Kesenian Wayang
Kesenian wayang dalam bentuknya yang asli timbul
sebelum kebudayaan Hindu masuk di Indonesia dan mulai berkembang pada zaman
Hindu-Jawa. Pertunjukan kesenian wayang merupakan sisa-sisa upacara keagamaan
orang Jawa, yaitu sisa-sisa dari kepercayaan animisme dan dinamisme.
Tentang asal-usul kesenian wayang hingga dewasa ini
masih merupakan suatu masalah yang belum terpecahkan secara tuntas. Namun
demikian, banyak ahli mulai mencoba menelusuri sejarah perkembangan wayang dan
masalah ini ternyata sangat menarik sebagai sumber atau obyek penelitian.
Menurut Kitab Centini , tentang asal-usul wayang purwa
disebutkan bahwa kesenian wayang mula-mula sekali diciptakan oleh Raja Jayabaya
dari Kerajaan Mamenang/Kediri. Sekitar abad ke-10 Raja Jayabaya berusaha
menciptakan gambaran dari roh leluhurnya dan digoreskan di atas daun lontar.
Bentuk gambaran wayang tersebut ditiru dari gambaran relief cerita Ramayana pada
Candi Penataran di Blitar. Cerita Ramayana sangat menarik
perhatiannya karena Jayabaya termasuk penyembah Dewa Wisnu yang setia, bahkan
oleh masyarakat dianggap sebagai penjelmaan atau titisan Batara Wisnu. Figur
tokoh yang digambarkan untuk pertama kali adalah Bhatara Guru atau Sang Hyang
Jagadnata, yaitu perwujudan dari Dewa Wisnu.
Berdasarkan
sejarahnya, kesenian wayang jelas lahir di bumi Indonesia. Karena sifat local
genius yang dimiliki bangsa Indonesia, maka secara sempurna terjadi
pembauran kebudayaan asing, sehingga tidak terasa sifat asingnya. Berbicara
kesenian wayang dalam hubungannya dengan pendidikan kepribadian bangsa tidak
dapat lepas dari pada tinjauan kesenian wayang itu sendiri dengan falsafah
hidup bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Pancasila sebagai falsafah negara dan
pandangan hidup bangsa Indonesia, merupakan ciri khusus yang dapat membedakan
bangsa Indonesia dengan bangsa lain. Pancasila adalah norma yang mengatur
tingkah laku dan perikehidupan bangsa. Menurut TAP MPR - Rl No. II/ MPR/1993
tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara; disitu ditandaskan bahwa untuk
mewujudkan tujuan nasional sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945. Perlu menetapkan Ketetapan yang mengatur Garis-Garis Besar Haluan
Negara yang didasarkan atas aspirasi dan kepribadian bangsa demi penghayatan
dan pengamalan kehidupan kenegaraan yang demokratis-konstitusional berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Pengertian
kepribadian bangsa adalah suatu ciri khusus yang konsisten dari bangsa
Indonesia yang dapat memberikan identitas khusus, sehingga secara jelas dapat
dibedakan dengan bangsa lain. Rumusan Pancasila secara resmi ditetapkan dengan
syah sebagai falsafah negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia sejak
berlakunya Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea 4 tercanang rumusan
Pancasila yang berbunyi: 1) Ketuhanan Yang Maha Esa, 2) Kemanusiaan yang adil
dan beradab, 3) Persatuan Indonesia, 4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu
5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Jiwa Pancasila
seperti yang termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut,
bukanlah masalah yang baru dalam dunia pewayangan.
1. Asas Ketuhanan
Yang Maha Esa
Dalam dunia
pewayangan dikenal tokoh yang biasa disebut Hyang Suksma Kawekas. Tokoh ini
tidak pernah diwujudkan dalam bentuk wayang, tetapi diakui sebagai Dewa Yang
Tertinggi. Tokoh dewa-dewa yang diwujudkan dalam bentuk wayang, misalnya:
Bhatara Guru, Narada, Wisnu, Brahma, Kamajaya, dalam pewayangan digambarkan
seperti manusia biasa. Mereka juga dilukiskan memiliki watak serta tabiat yang
banyak persamaannya dengan manusia lumrah. Dalam cerita-cerita mereka sering
pula berbuat salah, bahkan tidak jarang terpaksa minta bantuan manusia dalam
menghadapi hal-hal tertentu. Kekawin Arjunawiwaha, misalnya,
merupakan contoh yang jelas. Pada saat raksasa Nirwatakawaca mengamuk di
Suralaya karena maksudnya meminang Dewi Supraba ditolak para dewa. Para dewa
tidak mampu menghadapinya. Untuk mengamankan Suralaya para dewa minta bantuan
bagawan Mintaraga atau Bagawan Ciptaning, yaitu nama Arjuna saat menjadi
pertapa. Sebagai imbalan jasa karena Bagawan Ciptaning berhasil membunuh
raksasa Nirwatakawaca, diberi hadiah Dewi Supraba dan pusaka Pasopati. Di sini
terlihat bahwa kebenaran yang bersifat mutlak hanya dimiliki Dewa Tertinggi
yaitu Hyang Suksma Kawekas. Ajaran ini tidak jauh berbeda dengan ajaran yang
terkandung di dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa .
2. Asas Kemanusiaan
Jiwa yang
terkandung dalam sila Kemanusiaan, pada hakikatnya suatu ajaran untuk
mengagung-agungkan norma-norma kebenaran. Bahwasanya kebenaran adalah di atas
segala-galanya. Kendati kebenaran mutlak hanya berada di tangan Tuhan Yang Maha
Esa, namun untuk menjaga keseimbangan kehidupan antara manusia perlu dipupuk
kesadaran tenggang rasa yang besar.
Kebenaran yang sejati memunyai sifat universal, artinya berlaku kapan saja, di
mana saja, dan oleh siapa pun. Tokoh dalam dunia pewayangan yang memiliki sifat
dan watak mengabdi kebenaran banyak jumlahnya. Sebagai contoh dapat dipetik
dari Serat Ramayana . Di dalam Serat Ramayana dikenal
putra Alengka bernama Raden Wibisono yang memunyai watak mencerminkan ajaran
kemanusiaan. Kisah inti dalam Serat Ramayana berkisar pada
kemelut yang terjadi di antara Prabu Dasamuka yang merampas istri Rama.
Tindakan Prabu Dasamuka ini dinilai berada di luar batas kemanusiaan. Raden
Wibisono sadar akan hal tersebut, Prabu Dasamuka dianggap melanggar norma
perikemanusiaan. Oleh karena itu, Raden Wibisono ikut aktif membantu Raden Rama
untuk memerangi saudaranya sendiri. Demi kemanusiaan Raden Wibisono rela
mengorbankan saudara sendiri yang dianggap berada di pihak yang salah.
3. Asas Persatuan
Dalam dunia
pewayangan tokoh yang memilih jiwa kebangsaan tinggi terlukis pada diri tokoh
Kumbakarna digambarkan dalam bentuk raksasa, namun memiliki jiwa kesatria.
Sebagai adik Raja Dasamuka, Kumbakarna memiliki sifat yang berbeda. Kumbakarna
menentang tindakan Prabu Dasamuka yang merampas Dewi Sinta isteri Rama.
Sikap menentang
sama dengan sikap Raden Wibisono, tetapi jalan yang ditempuh berbeda. Raden
Wibisono menentang dengan aktif memihak Raden Rama, sedangkan Kumbakarna tetap
berpihak Alengka demi negaranya. Niatnya bukan perang membela kakaknya, tetapi
bagaimana pun Alengka adalah negaranya yang wajib dibela walau pun harus
mengorbankan jiwa raga. Oleh karena itu, nama Kumbakarna tercanang sebagai
nasionalis sejati. Benar atau salah Alengka adalah negaranya.
4. Asas Kerakyatan/Kedaulatan Rakyat
Dalam dunia
pewayangan dikenal tokoh punakawan yang bernama Semar. Semar adalah punakawan
dari para kesatria yang luhur budinya dan baik pekertinya. Sebagai punakawan,
Semar adalah abdi, tetapi berjiwa pamong, sehingga oleh para kesatria Semar
dihormati.
Penampilan tokoh
Semar dalam pewayangan sangat menonjol. Walau dalam kehidupan sehari-hari tidak
lebih dari seorang abdi, tetapi pada saat-saat tertentu Semar sering berperan
sebagai seorang penasehat dan penyelamat para kesatria di saat menghadapi
bahaya, baik akibat ulah sesama manusia mau pun akibat ulah para dewa. Dalam
pewayangan tokoh Semar sering dianggap sebagai dewa yang ngejawantah atau dewa
yang berujud manusia. Menurut Serat Kanda dijelaskan bahwa
Semar sebenarnya adalah anak Syang Hyang Tunggal yang semula bernama Bhatara
Ismaya, saudara tua dari Bhatara Guru.
Semar sebagai dewa
yang berujud manusia, mengemban tugas khusus menjaga ketenteraman dunia dalam
penampilan sebagai rakyat biasa. Para kesatria utama yang berbudi luhur
memunyai keyakinan bilamana menurut segala nasehat Semar akan mendapatkan
kebahagiaan. Semar dianggap memiliki kedaulatan yang hadir di tengah-tengah
para kesatria sebagai penegak kebenaran dan keadilan. Dengan kata lain, Semar
adalah simbol rakyat yang merupakan sumber kedaulatan bagi para kesatria atau
yang berkuasa.
5. Asas Keadilan Sosial
Unsur keadilan
dalam dunia pewayangan dilambangkan dalam diri tokoh Pandawa. Pandawa yang
terdiri dari Puntadewa, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa, secara bersama-sama
memerintah negara Amarta. Kelimanya digambarkan bersama bahagia dan
bersama-sama menderita. Tiap-tiap tokoh Pandawa memunyai ciri watak yang
berlainan, namun dalam segala tingkah lakunya selalu bersatu dalam menghadapi
segala tantangan. Puntadewa yang paling tua sangat terkenal sebagai raja yang
adil dan jujur, bahkan diceriterakan berdarah putih. Puntadewa dianggap titisan
Dewa Dharma yang memiliki watak menonjol selalu mementingkan kepentingan orang
lain, rasa sosialnya sangat besar.