Simaklah :D
Bahasa dan budaya merupakan dua aspek kehidupan manusia yang tidak
terpisahkan satu dari yang lain. Bahasa adalah entitas suatu budaya. Dalam
bahasa itu terkandung muatan budaya penuturnya, termasuk nilai moral dan etika.
Ia sekaligus merupakan sarana mengekspresikan budaya itu sendiri. Ia juga
merupakan cerminan budaya pemakainya. Sapir (dalam Blount,1974) menyatakan
bahwa kandungan setiap budaya terwujud di dalam bahasanya. Tidak ada materi
bahasa, baik isi maupun bentuk yang tidak dirasakan sebagai melambangkan makna
yang dikehendaki, tanpa memperdulikan sikap apapun yang ditunjukkan oleh budaya
lain. Wittgenstein (1981) juga dengan tegas menyatakan bahwa dalam bahasa yang
kita pergunakan tersirat suatu orientasi hidup atau apa yang disebut weltanshauung. Orientasi hidup ini bukan saja mencakup konsep-konsep yang kita anut
mengenai alam sekitar kita, tetapi juga kebudayaan, perasaan serta
tackhayul-tachayul. Keyakinan yang kita anutpun juga tersirat dalam bahasa yang
kita pergunakan.
Bahwa bahasa merupakan perwujudan budaya masyarakat pemiliknya disadari
benar oleh masyarakat Jawa. Hal ini terungkap dalam pepatah yang sering kita
dengar ajining diri dumunung ana ing lathi ’, yang artinya harga
diri seseorang dinilai dari tutur katanya. Berbicara dengan bahasa yang sopan,
dengan kata yang manis, dengan suara yang halus akan membuat simpatik.
Sebaliknya orang yang berbicara dengan kasar, tidak sopan dan tidak
memperhatikan perasaan orang lain akan menimbulkan masalah dan meruntuhkan
harga dirinya. Penghargaan orang terhadap orang lain bersumber dari tutur
katanya. Apabila tutur kata seseorang membuat orang lain enak dan teduh, orang
lain akan senang dan ia akan dihormati. Sebaliknya tutur kata sinis, pedas akan
mendatangkan rasa benci dari pihak lain.Pepatah ini mengandung makna bahwa
seseorang akan dihargai oleh orang lain (masyarakat) bukan karena kekayaan atau
jabatannya, tetapi karena kesantunan bahasa (unggah-ungguhing basa) yang
dipergunakannya. Dalam bahasa yang dipergunakan itulah jati diri seseorang terungkap.
Orang yang santun, santun pula bahasanya. Dalam pergaulan sedapat mungkin orang
Jawa berbuat kebajikan dalam bertutur kata.
Salah satu ciri bahasa Jawa adalah adanya sistem tingkat tutur (unda usuk),
yang tidak dimiliki oleh setiap bahasa di dunia ini. Bagi orang yang tidak
paham benar mengenai bahasa Jawa akan mengatakan bahwa tingkat tutur bahasa
Jawa sulit dan memupuk sikap tidak demokratis antara penutur dan mitra
bicaranya. Namun sebetulnya bila nilai filosofis tingkat tutur itu dipahami benar,
justru tingkat tutur bahasa Jawa mengajar manusia Jawa nilai-nilai kemanusiaan
yang sangat dalam, antara lain andap asor, empan papan, saling menghormati, pengakuan akan keberagaman, aja dumeh dan tepa seliro. Sistem tingkat tutur
bahasa Jawa itu merupakan pertanda pentingnya adat sopan santun yang menjalin
sistem tata hubungan manusia Jawa (Soepomo, 1979: 59).
Kesantunan Manusia Jawa
Sejak kecil seorang anak Jawa dididik oleh orang tua untuk menjadi manusia
Jawa yang otentik. Manusia Jawa yang otentik adalah manusia selalu berperilaku
santun terhadap orang lain. Berperilaku santun artinya berperilaku sedemikian
rupa sehingga tidak menimbulkan konflik. Manusia Jawa yang otentik selalu
menjaga toto tentrem atau keharmonisan, makro dan mikro kosmos. Manusia Jawa
otentik adalah manusia jawa yang mempunyai unggah-ungguh, totokrama. Kata
santun adalah kata sifat dan kata bendanya adalah kesantunan. Kesantunan adalah tatacara atau kebiasaan, norma atau adat yang berlaku dalam suatu
masyarakat. Kesantunan merupakan tata cara atau
aturan perilaku yang menjadi kesepakatan bersama oleh suatu masyarakat
tertentu. Bagi masyarakat Jawa kesantunan kerap disebut sopan santun, unggah-unnguh, atau tata krama atau etika
Kesantunan dalam masyarakat Jawa didominasi oleh rasa. Inilah yang
membedakan antara barat dan Jawa lebih-lebih pada zaman aliran psikologi pikir
yang menyombongkan kemampuan pikir seperti yang dikemukakan oleh Rene Descarter
’cogito ergo sum’ (saya ada karena saya berpikir). Esantuna bagi manusia Jawa
adalah terkait dengan olah rasa. Yang dikategorikan rasa bukan akal atau
rasional, tetapi yang berkaitan dengan hati. Bila orang jawa berkata yang saya
pikir, sejatinya yang ia maksud adalah yang saya rasakan. Rasa sering
dikatakan manah. Oleh karena itu orang jawa sering
mengatakan ’nek tak rasakake’, ’menawi kula galih’, ’menawi kula raosaken’,
’menawi kula manih’, ’saking manah kula’, dan sebagainya. Oleh karena itu dalam
bertindak, berbahasa, berkomunikasi, dalam mengambil keputusan tidak hanya
berdasarkan logika pikir, tetapi rasa dan pikir atau nalar terjadi secara
otomatis.
Etika atau kesantunan tersebut merupakan ukuran peradaban sebuah bangsa
(Purwadi, 2008). Tinggi rendahnya peradaban suatu bangsa dapat dilihat seberapa
jauh setiap warganya bertindak sesuai dengan norma yang disepakati bersama.
Bila setiap anggota masyarakat mentaati norma dan etika, tidak akan ada konflik
di dalam masyarakat, dan hubungan antar anggota masyarakat menjadi harmonis,
dan selaras terwujudlah keadaan ideal ’toto tentrem’.
Kerukunan dan saling menghormati merupakan dua kaidah penting yang menjadi
dasar tata kehidupan bermasyarakat atau etika manusia Jawa (Magnis-Suseno,
1984:38). Prinsip kerukunan itu mengatakan bahwa dalam setiap situasi manusia
Jawa hendaknya bersikap sedemikian rupa untuk tidak menimbulkan konflik. Bila
antar warga masyarakat rukun hubungan antar mereka menjadi harmonis. Rukun
berarti harmonis atau selaras, tanpa perselisihan dan pertentangan. Masyarakat
dalam keadaan seperti ini disebut toto tentrem. Keadaan toto tentrem inilah
yang diidamkan manusia Jawa.
Kaidah kedua menuntut agar dalam berbicara dan membawakan diri manusia Jawa
selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain sesuai dengan derajat dan
kedudukannya. Terhadap orang yang lebih tinggi statusnya seseorang Jawa
hendaknya menunjukkan rasa hormat dan sungkan. Perasaan sungkan seperti ini
disebut rasa pekewoh atau rikoh. Perasaan pekewoh dan sungkan ini menuntut
seorang Jawa untuk selalu berhati-hati dalam bertindak dan berbicara, dan oleh
karenanya manusia Jawa tidak akan sembrono dalam membawakan diri maupun dalam
berbicara. Bagi manusia Jawa kekeliruan, ketidak hati-hatian atau kesembronoan
dalam berperilaku dan berbicara akan dianggap tidak sopan atau tidak punya
unggah-ungguh.
Orang Jawa yang otentik, yang ingin selalu menjaga keselarasan atau
keharmonisan atau ketenteraman memiliki sifat (a) andhap asor, (b) tepo
seliro), (c) empan papan, dan (d) ojo dumeh. Andhap asor tidak berarti rendah
diri, tetapi rendah hati. Kata andhap asor sejajar dengan lembah manah
(Javanese Encyclopedia, 2008). Orang yang bersikap andhap asor tidak mau
menonjolkan diri meskipun sebenarnya ia memiliki kemampuan. Orang Jawa sangat
mengutamakan sifat andhap asor bila berhubungan dengan orang lain. Orang yang
bersikap andhap asor akan ditinggikan atau dihormati oleh orang lain.
Sebaliknya orang merendahkan orang lain dan tidak menunjukkan rasa hormat
kepada orang lain baik dalam bertuturkata maupun bertindak ia akan dianggap
tinggi hati. Misalnya seorang pimpinan suatu institusi yang andhap asor tidak
akan menunjukkan kekuasannya, baik dalam bertutur kata maupun dalam bertindak
kepada anak buahnya.
Meskipun ia seorang pimpinan, ia tidak akan menonjolkan diri, ia akan
selalu menaruh hormat kepada anak buahnya sesuai dengan pangkat dan kedudukan
meraka. Orang yang memiliki sikap andhap asor tidak mudah dijerumuskan oleh
pujian. Ia tidak akan terpeleset hanya karena gila hormat. Kalau dicela ia
tidak akan mudah marah. Justru ia akan mawas diri. Orang yang mempunyai sikap
atau rasa andhap asor akan selalu mencegah terjadinya emosi yang meletup-letup.
Sikap andhap asor biasanya dibarengi dengan sikap tepo seliro. Orang yang
mepunyai sikap tepo seliro tidak akan mudah menyalahkan atau mencela orang
lain. Ia tidak akan melakukan hal yang buruk kepada orang lain, karena ia juga
tidak akan mau diperlakukan seperti itu. Dalam setiap pergaulan dengan orang
lain, dalam berbicara dan berperilaku orang Jawa selalu berhati-hati. Sebelum
bertindak dan berbicara ia akan selalu mawas diri, apa yang akan dilakukan dan
diucapkan harus dipikir dengan hati-hati agar tidak mempermalukan, menyakiti
hati atau menyinggung perasaan orang lain.
Melalui konsep tepo seliro inilah segala sesuatu yang ada pada orang lain
dapat dirasakan, seakan-akan sebagai sesuatu yang menjadi miliknya sendiri.
Oleh karena itu berbagai penilaian negatif terhadap segala sesuatu yang ada
pada orang lain akan dirasakan sebagai penilaian terhadap diri sendiri.
Manusia Jawa yang otentik memiliki sikap empan papan. Prinsip empan papan
sama dengan angon basa. Sikap empan papan adalah sikap yang menunjukkan
pertimbangan tidak bertentangan dengan tempat, waktu, dan keadaan dalam
berperilaku untuk menjaga keselarasan. Orang Jawa selalu dituntut untuk
berhati-hati dalam berbicara. Dalam berbicara seseorang harus mempertimbangkan
apa yang dibicarakan, kepada siapa, tentang apa, dimana, dalam keadaan apa, dan
bagaimana cara bicaranya agar tidak terjadi konflik, agar suasana yang
harmonis, selaras, tenteram terpelihara. Bagi orang Jawa kebenaran mengenai
sesuatu sikap dan tindakan itu relatif. Artinya, baik atau benar pada suatu
waktu, tempat atau bagi orang lain dapat menjadi tidak benar atau tidak baik
bila diterapkan pada waktu, tempat atau pada orang lain.
Dalam pergaulan sehari-hari konsep empan papan secara tidak disadari telah
diwujudkan dalam komunikasi verbal di masyarakat. Dalam komunikasi sehari-hari
pembicara harus memilih ragam bahasa atau tingkat tutur yang tepat. Tingkat
tutur yang dipilih harus sesuai dengan kedudukan diri sendiri dan kedudukan
mitra bicara. Kesalahan pemilihan tingkat tutur bisa menjadi suasana tidak
nyaman, bahkan bisa dicap tidak baik atau tidak pantas, atau dicap njangkar
atau kurang ajar.
\
Tingkat Tutur Bahasa Jawa Selayang Pandang
Salah satu ciri obyektif bahasa Jawa ialah bahwa basa Jawa memiliki tingkat
tutur yang cukup canggih dan rapi. Yang dimaksud dengan tingkat tutur atau
undha usuk atau speech level adalah suatu sistem kode (kebahasaan) yang
menyampaikan variasi rasa hormat atau kesantunan yang memiliki unsur kosa kata
tertentu, aturan sintaktis tertentu, aturan morfologis dan fonologis tertentu
(Soepomo, 1979:8-9). Setiap kosa bahasa Jawa memiliki variasi bentuk morfologis
yang menunjukkan tingkat rasa hormat atau kesopanan, ada tingkat halus dan
tidak halus (atau kasar), atau tingkat Ngoko (N), Madyo (M) dan Krama
(K).
a. Bentuk Tingkat Tutur Bahasa Jawa
a. Bentuk Tingkat Tutur Bahasa Jawa
Menurut bentuknya, secara garis besar tingkat tutur bahasa Jawa dibagi menjadi 5 tingkatan,
1. basa ngoko,
2. basa madya,
3. basa krama,
4. basa kedaton atau bagongan, dan
5. basa kasar.
Kelima tingkat tutur tersebut secara rinci semuanya dibagi menjadi 13
tingkat, yaitu:
1. ngoko lugu,
2. ngoko andhap antya basa,
3. ngoko andhap basa antya,
4. madyo ngoko,
5. madyatara,
6. madyakrama,
7. mudokrama,
8. kramantara,
9. wredakrama,
10. krama inggil
11. krama deso,
12. basa kedaton atau bagongan, dan
13. basa kasar.
1. ngoko lugu,
2. ngoko andhap antya basa,
3. ngoko andhap basa antya,
4. madyo ngoko,
5. madyatara,
6. madyakrama,
7. mudokrama,
8. kramantara,
9. wredakrama,
10. krama inggil
11. krama deso,
12. basa kedaton atau bagongan, dan
13. basa kasar.
Klasifikasi tingkat tutur Bahasa Jawa ini secara ringkas dapat digambarkan dalam bagan berikut.
Dari bagan tersebut diatas tampak bahwa tingkat Basa Ngoko dibagi menjadi
tiga tingkat, yakni
1. Ngoko lugu,
2. Ngoko andhap antya basa, dan
3. Ngoko basa
1. Ngoko lugu,
2. Ngoko andhap antya basa, dan
3. Ngoko basa
Basa ngoko lugu.
Tingkat tutur ini dipakai dalam percakapan sehari-hari dalam situasi tidak
resmi oleh pembicara atau O1 kepada mitra bicara atau O2 yang (1) memiliki
status sosial yang sama, (2) sudah saling kenal dan akrab. Tingkat tutur ini
juga dipergunakan oleh pembicara (O1) kepada kerabat (O2) yang lebih muda
(misalnya adik). Dalam berbicara kepada orang asing yang belum memahami tingkat
tutur Bahasa Jawa, orang Jawa juga menggunakan ngoko lugu.
Contoh:
• Sapa sing methuk tamu ana ing stasiun Gubeng? (Siapa yang menjemput tamu di stasiun Gubeng?)
• Aku arep menyang pasar. (Saya mau pergi ke pasar)
• Adhiku arep ditukoke wedhus
Ngoko andhap antya basa.
Tingkat tutur ini oleh
1. pembicara yang lebih tua kepada mitra bicara (O2) yang statusnya lebih tinggi,
2. antar priyayi yang sudah saling kenal dan akrab. Kata ngoko ’kowe’ misalnya, diganti dengan bentuk krama ’seliramu’.
1. pembicara yang lebih tua kepada mitra bicara (O2) yang statusnya lebih tinggi,
2. antar priyayi yang sudah saling kenal dan akrab. Kata ngoko ’kowe’ misalnya, diganti dengan bentuk krama ’seliramu’.
Contoh:
• Apa wingi seliramu (Kangmas) sido tindak menyang Ngayogya?
• Wulan Nopember iki seliramu (Mbakyu) tak aturi rawuh ing kongres Basa Jawa ing Surabaya.
• Adiku arep dipundutke wedhus ta, Pak.
• Apa wingi seliramu (Kangmas) sido tindak menyang Ngayogya?
• Wulan Nopember iki seliramu (Mbakyu) tak aturi rawuh ing kongres Basa Jawa ing Surabaya.
• Adiku arep dipundutke wedhus ta, Pak.
Ngoko Andhap Basa Antya.
Ngoko andhap basa antya dipergunakan dalam percakapan antara O1 dan O2 yang
telah akrab dan saling menghormati. Bentuk tingkat tutur ini seperti antya basa
perbedaannya ialah bahwa dalam percakapan ditambah dengan bentuk krama, sesuai
dengan perasaan penutur. Bentuknya menjadi: ngoko-krama-krama inggil.
Contoh:
• Jare mrisani kethoprak, saiki tindak menyang endi?
• Jare mrisani kethoprak, saiki tindak menyang endi?
• Mau esok tindak kantor, sore iki ngrawuhi pepanggihan ana ing RT.
• Adhik arep dipundhutke menda, to, Pak
Tingkat Madya, pada dasarnya adalah tingkat tutur krama yang telah mengalami proses penurunan, proses informalisasi dan ruralisasi (Soepomo, 1979:12).
Dalam diagram juga tampak bahwa, tingkat Madya dapat dibagi menjadi tiga
tingkat, yakni
1. Madya Ngoko,
2. Madyatara, dan
3. Madya Krama.
1. Madya Ngoko,
2. Madyatara, dan
3. Madya Krama.
Sebetulnya pembagian madya menjadi tiga ini sifatnya kontinum, ada yang bertingkat rendah disebut madya ngoko, ada yang bertingkat sedang disebut madyantara, dan ada yang bertingkat tinggi disebut madya krama.
Tingkat tutur Madya Ngoko dipergunakan oleh sesama teman, pembicara dan mitra bicara memperlakukan pembicara sederajat, misalnya antar pedagang (bakul). Tingkat tutur ini juga dipakai antara atasan kepada bawahan, priyayi kepada bawahan dalam suasana akrab, tidak resmi dan santai. Bentuk tingkat tutur ini: madya, ngoko, kowe diganti ”ndiko”.
Contoh:
• Ndiko wayah ngeten kok lungo teng pasar.
• Ndiko wayah ngeten kok lungo teng pasar.
• Kulo ajeng mantuk riyin.
Tingkat Madyatara
dipakai oleh pembicara kepada mitra bicara yang lebih muda atau yang
mempunyai derajat yang lebih rendah. Seorang priyayi, bila berbicara dengan
saudara yang lebih muda, atau seorang priyayi bila berbicara dengan priyayi
lain yang sederajat dan telah akrab memilih tingkat tutur ini. Bentuknya ialah:
madya, ngoko, ’kowe’ (kamu) diganti ’kang sliro’ atau ’sampeyan’.
Contoh:
• Sampeyan (kang sliro) napa duwe perlu wigati kok gita-gita?
• Sampeyan (kang sliro) napa duwe perlu wigati kok gita-gita?
• Kang sliro saiki nyambut gawe ana ngendi?
Tingkat tutur Madya krama
dipergunakan untuk menghormati orang lain, tetapi sifatnya sementara, dalam
suasana yang akrab. Dalam tingkat tutur ini tidak ada kosa kata ngoko, kecuali
akhiran –e, dan –ake. Bentuk tingkat tutur ini ialah madya, krama, dan krama
inggil. Kosa kata ’kowe’ diganti sampeyan.
Contoh:
• Wanci ngeten kok sampun kondur, napa empun rampung pandamelan sampeyan?
• Selanjutnya dalam giagram tampak bahwa tingkat basa krama terdiri dari lima tataran,
1. muda krama,
2. kramantara,
3. wredakrama,
4. krama inggil, dan
5. krama desa.
• Wanci ngeten kok sampun kondur, napa empun rampung pandamelan sampeyan?
• Selanjutnya dalam giagram tampak bahwa tingkat basa krama terdiri dari lima tataran,
1. muda krama,
2. kramantara,
3. wredakrama,
4. krama inggil, dan
5. krama desa.
Pembagian tingkat tutur krama ini sifat juga kontinuum, seperti halnya
pembagian tingkat tur madya, artinya ada krama yang rendah, menengah dan tinggi
atau inggil.
Tingkat Muda krama dipakai oleh orang muda yang berbicara kepada orang tua,
murid kepada guru, atau antar teman kepada teman yang belum akrab. Bentuknya
ialah: krama, kosa kata krama inggil untuk mitra bicara, ’kowe’ diganti dengan
’panjenengan’, awalan dan akhiran krama.
Contoh:
• Lho kok, kang Mas, panjenengan punapa saestu tindak dhateng rapat, nitih sepeda motor punapa becak?
Contoh:
• Lho kok, kang Mas, panjenengan punapa saestu tindak dhateng rapat, nitih sepeda motor punapa becak?
Tingkat Kramantara.
Tingkat tutur ini dipergunakan dalam pembicaraan antar sesama, tetapi si
pembicara tingkat status sosialnya lebih tinggi, bukan di tempat umum. Bentuk
tuturannya adalah krama, dengan awalan dan akhiran krama. Kata ganti orang
kedua ’kowe’ menjadi ’sampeyan’.
Contoh:
• Sampeyan punapa sampun mlebet dados anggotanipun partai politik, partai punapa?
• Sampeyan punapa sampun mlebet dados anggotanipun partai politik, partai punapa?
Tingkat tutur Basa Krama Wredakrama dipakai dalam pembicaraan oleh orang
yang lebih tua kepada mitra bicara yang umurnya lebih muda. Bentuk tuturannya
ialah: krama, awalan, dan akhiran ngoko.
Contoh:
• Kados pundi nak, rembag bab kemajenganipun nagari ing parlemen?
Krama inggil
dipakai dalam pembicaraan oleh orang yang tinggi status sosialnya, karena
asal-usulnya dan karena jabatannya; bila yang diajak bicara lebih tua umurnya
dari yang berbicara. Tingkat ini untuk menunjukkan rasa hormat kepada yang
diajak bicara.
Contoh:
• Nyuwun duka Gusti, kala wingi dalem mboten saged dherekaken tindak dalem, awit anakipun dalem saweg sakit sanget.
• Nyuwun duka Gusti, kala wingi dalem mboten saged dherekaken tindak dalem, awit anakipun dalem saweg sakit sanget.
Krama desa.
Biasanya tingkat krama deso dipakai dalam komunikasi oleh orang desa yang
tidak memahami sistem tingkat tutur atau kaidah bahasa krama. Kosa kata krama
dijadikan krama karena ingin menunjukkan rasa hormat kepada orang yang diajak
bicara. Kosa kata yang menunjukkan tempat dan nama sering dijadikan krama.
Misalnya Gunung Kidul menjadi ’Redi Kidul’, Boyo lali menjadi Boyo kesupen,
Sawahan menjadi ’Sabinan’. Sering juga kata pertama dijadikan krama, dan kata
yang menunjukkan dirinya sendiri dijadikan krama. Bentuk tingkat tutur ini
adalah: krama, krama deso, kadang menggunakan krama inggil.
Contoh:
• Sampeyan punapa kersa mundut sawo kagungan kula piyambak?
• Kula badhe tindak dateng sabinan methuk simbah.
• Punapa panjenengan saking Medunten?
Pembagian basa krama menjadi lima bagian tersebut di atas sebetulnya adalah
pembagian yang dilakukan oleh para ahli kebahasaan deskriptif pada zaman
sebelum perang. Dalam kehidupan sehari-hari sekarang tingkat wredo krama dan
kramantara jarang dipergunakan.
Basa kedaton atau basa bagongan adalah bahasa khusus yang dipakai oleh
anggota kerajaan dan para pembantu (abdi dalem) bila ada pertemuan dengan raja
atau dalam percakapan di lingkungan kerajaan. Kata-kata yang termasuk basa
kedaton antara lain manise (aku), pukulun (kowe), jengandiko (kowe), enggeh,
punapi, boya (ora), seto (doyan), darbe (duwe), besaos (bae).
Contoh:
• Pakenira mekaten ampun boya kekirangan punapa-punapi, bebasan kantun dhahar lan tiem besaos
• Pakenira mekaten ampun boya kekirangan punapa-punapi, bebasan kantun dhahar lan tiem besaos
Yang terakhir adalah Basa kasar.
Basa Kasar dipakai oleh pembicara yang merendahkan mitra bicara atau orang
lain. Basa Jawa Kasar juga dipakai oleh pembicara yang marah, emosional. Bentuk
basa kasar ialah Ngoko dengan menggunakan kata-kata kasar dan kotor.
Contoh:
• Yen kowe ora jegos, wis minggato kono.
b. Makna Tingkat Tutur
Sebetulnya bila diringkas bahasa Jawa sehari-hari ada 4 tataran,
1. Ngoko,
2. Madya,
3. Ngoko, dan
4. basa kasar.
1. Ngoko,
2. Madya,
3. Ngoko, dan
4. basa kasar.
(1) Tingkat tutur Ngoko
Tingkat tutur Ngoko mencerminkan rasa akrab (solider) antara pembicara dan
mitra bicara. Artinya, pembicara tidak memiliki rasa segan, hormat atau rasa
pakewoh terhadap mitra bicara. Orang yang ingin menyatakan keakraban terhadap
mitra bicara, atau sesamanya, tingkat Ngoko inilah yang tepat untuk dipakai.
Teman yang saling akrab biasanya saling berbicara ngoko. Maka akan menjadi aneh
bila antar teman yang sudah kenal dan akrab berbicara dalam tingkat madya atau
krama. Bila antar teman yang akrab berbicara dalam tingkat tutur krama maka
hubungannya menjadi tidak akrab dan suasana bicara yang biasanya berubah
menjadi resmi.
Bila demikian maka rasa keakraban menjadi hilang. Orang yang berstatus
lebih tinggi, misalnya, guru terhadap murid, orang tua terhadap anak, pantas
menggunakan tingkat ngoko. Akan menjadi aneh dan lucu bila seorang guru memakai
bahasa krama kepada muridnya. Bila seorang guru berbicara kepada muridnya atau
seorang atasan berbicara dalam bahasa krama kepada bawahanya merupakan pertanda
marah atau sindiran.
Antara orang yang memiliki hubungan akrab tetapi saling menghormati dapat
memakai tingkat ngoko halus (antya basa dan basa antya). Kalangan pegawai di
kantor, antara guru di sekolah menggunakan tingkat tutur ngoko alus atau basa
antya dan antya basa.
(2) Tingkat tutur Madya
Tingkat tutur madya adalah tingkat tutur menengah antara ngoko dan krama.
Tingkat tutur ini menceminkan rasa sopan, tingkat tutur ini semula adalah
tingkat tutur krama tetapi sudah mengalami penurunan atau perkembangan yang
lebih rendah statusnya, yang sebut kolokialisasi (menjadi bahasa sehari-hari
yang tidak formal, atau perubahan dari formal menjadi tidak formal (Soepomo,
1979: 15). Tingkat madya ini, oleh karena itu, bagi kebanyakan orang disebut
setengah sopan. Orang yang disapa dengan tingkat tutur ini biasanya orang yang
tidak begitu disegani atau tidak sangat dihormati.
Orang desa yang dihormati biasanya disapa dengan tingkat tutur madya.
Kepala kantor terhadap rekannya yang tidak memiliki pangkat yang sama, orang
yang sudah dewasa, orang lanjut usia juga menggunakan tingkat tutur ini.
(3) Tingkat Krama
Tingkat tutur krama ialah tingkat tutur yang mencerminkan sikap penuh sopan
santun. Tingkat tutur ini menandakan adanya tingkat segan, sangat menghormati,
bahkan takut. Seorang pembicara (O1) yang menganggap bahwa mitra bicaranya (O2)
orang yang berpangkat, berwibawa, belum dikenal, akan menggunakan tingkat tutur
ini. Murid terhadap guru, seorang bawahan kepada atasan.
Seorang bawahan yang berbicara dengan atasan, atau seorang murid kepada
gurunya memakai bahasa ngoko dkatakan tidak sopan atau njangkar atau nukak
krama.
Seorang ibu bila berbicara dengan anaknya sering menyelibkan kata-kata
krama bila berbicara dengan anaknya. Seorang guru SD atau TK juga sering
menyelipkan kata-kata krama bila berbicara dengan muridnya. Ini semua dilakukan
bukan untuk menunjukkan rasa hormat, tetapi untuk mendidik atau membiasakan
berbicara dalam bahasa krama kepada anak atau murid-murid.
Basa krama bukan hanya ditandai oleh bentuk sintaktis dan morfologis, tetapi juga suara dan bentuk tubuh. Seseorang yang berbahasa krama berbicara dengan suara lembut, pelan dengan badan yang sedikit membungkuk.
Basa krama bukan hanya ditandai oleh bentuk sintaktis dan morfologis, tetapi juga suara dan bentuk tubuh. Seseorang yang berbahasa krama berbicara dengan suara lembut, pelan dengan badan yang sedikit membungkuk.
(4) Basa kasar
Basa jawa kasar adalah basa yang derajatnya paling rendah. Bahasa tingkat
ini adalah bahasa sehari-hari yang dipergunakan oleh orang yang tidak
berpendidikan yang tidak punya sopan santun sama sekali, orang yang sedang
marah, atau orang yang meremehkan orang lain. Perampok atau penjahat lainnya
ujaran yang dipakai Bahasa Jawa kasar, penuh dengan kosa kata seharian
(kolokial) yang kasar, kosa kata tabu dan kasar. Nada bicara pemakai basa Jawa
tidak lembut tetapi kasar dengan suara tinggi, dan dibarengi ada hentakan
(bentakan). Posisi tubuh pembicara tidak ada rasa simpatik, sombong.
Orang yang sedang marah lupa akan unggah-ungguh yang harus ditaati dalam
berinteraksi dengan orang lain dan dalam situasi yang terjadi. Ia tidak perduli
dengan status orang yang diajak bicara.
c. Pemilihan Tingkat Tutur
Faktor yang menentukan pemilihan tingkat tutur adalah tingkat kesantunan
pembicara sesuai dengan siapa ia berbicara, siapa yang dibicarakan dan dalam
situasi apa. Dengan kata lain pemilihan tingkat tutur merupakan perwujudan
tingkat kesantunan pembicara dalam pergaulan sosial di masyarakat. Seperti yang
telah dibicarakan terdahulu, yang dimaksud kesantunan adalah kepatuhan
berperilaku sesuai dengan aturan, norma adat yang telah disepakati dalam budaya
bermasyarakat, yang disebut tata krama, sopan santun, unggah ungguh atau etika.
Orang Jawa yang otentik yang ‘njowo’ yang memiliki unggah ungguh akan
memilih unggah ungguhing bahasa yang tepat. Dalam memilih tingkat tutur dalam
berinteraksi ia akan berusaha sedemikian rupa sehingga keharmonisan tata
hubungan dengan mitra bicara dan orang yang dibicarakan terpelihara, tidak
menimbulkan konflik lahir dan batin, tidak merusak kerukunan dan ketenteraman
batin mitra bicara dan orang yang dibicarakan. Kesantunan atau unggah ungguh
pergaulan dalam masyarakat berkaitan erat dengan roso atau sikap batin
seseorang kepada mitra bicara. Oleh karena itu seperti dibicarakan terdahulu
kesantunan itu terkait erat dengan
1. rasa pekewoh,
1. rasa pekewoh,
2. tepo selira,
3. empan papan,
4. andhap aso.
Tingkat keakraban hubungan antara pembicara, orang yang diajak bicara dan yang dibicarakan menentukan penggunaan tingkat tutur Ngoko, Madya atau Krama. Tingkat tutur Ngoko merupakan perwujudan bahwa si pembicara tidak memiliki rasa pekewoh kepada mitra bicara, mungkin karena hubungan antara mereka sudah akrab, atau si pembicara memiliki status sosial yang lebih tinggi dari pada mitra bicara. Penggunaan ngoko halus (antya basa dan basa antyo) merupakan perwujudan bahwa antara si pembicara akrab dan saling menghormati.
Orang yang sedang marah, kesakitan, dalam keadaan batin yang mengandung emosi yang tinggi akan berbicara dengan tingkat ngoko kasar atau basa Jawa kasar yang sering ditandai dengan kosa kata yang mengandung makna tabu.
Watak O1 juga terwujud dalam tingkat tutur yang pakai. Orang yang bagi
orang Jawa disebut diri ’sombong’ suka memakai tingkat ngoko kepada orang yang
status sosial atau keadaan ekonominya lebih dari padanya, tanpa meperdulikan
tingkat usia.
Tingkat krama merupakan perwujudan sikap sangat hormat yang dimiliki oleh
pembicara terhadap orang yang diajak bicara. Tingkat tutur ini merupakan
perwujudan rasa segan atau pekewoh si pembicara terhadap orang yang diajak
bicara. Tinggi-rendahnya rasa hormat, pekewoh seseorang menentukan pemakaian
kata-kata krama ingiil. Orang yang wataknya halus cenderung memakai basa krama
(madya atau inggil) kepada orang lain, walaupun O2 itu sangat rendah tingkat
status sosial dan ekonominya. Orang yang mempunyai sifat atau sikap andhap asor
juga terwujud dengan tingkat tutur yang dipergunakan. Orang yang andhap asor
akan memilih kosa kata ngoko bila ia merujuk diri sendiri dan menggunakan kosa
kata krama (madya atau inggil) bila merujuk kepada mitra bicara (02).
Sikap hormat kepada orang ketiga (O3) yang hadir dalam pembicaraan juga
terwujud dalam pemilihan tingkat tutur. Kehadiran orang ketiga yang dihormati
dan sangat memperhatikan sopan santun sering mengubah pilihan tingkat
tutur.
Antara dulu dan sekarang
Bagi manusia Jawa menekankan perlunya pendidikan sopan santun. Orang tua
Jawa menginginkan anaknya menjadi manusia jawa yang ‘Njowo’. Manusia yang
‘njowo’ adalah yang tahu norma-norma adat kesantunan Jawa atau tata krama yang
mengatur semua bentuk interaksi langsung dengan masyarakat, seperti yang telah
dibicarakan terdahulu. Tatakrama ini menyangkut gerak badan, urutan duduk, isi
dan bentuk suatu pembicaraan. Tingkat tutur bahasa jawa merupakan sarana yang
cocok untuk pendidikan kesantunan ini.
Pada zaman sebelum kemerdekaan, banyak keluarga elite yang mengajarkan
anak-anaknya berbahasa krama terhadap orang tua atau orang yang dihormati. Hal
ini dilakukan agar anak-anak mereka tahu adat sopan santun dengan baik. Di
sekolah Bahasa dan nilai-nilai budaya Jawa yang dulu besar dan jaya, sekarang
tinggal kenangan. Bahasa Jawa semakin terdesak oleh bahasa Indonesia yang
semakin besar dan berkembang.
Tidak ada karya sastra besar yang dihasilkan oleh pujanga Jawa sekaliber
Ronggo Warsito. Para tokoh dan pemerhati bahasa Jawa khawatir semakin terkikis
dan mati tergeser oleh bahasa Indonesia yang semakin besar. Bahasa asingpun,
terutama bahasa Inggris, menjadi ancaman yang potensial bagi keberlangsungan
bahasa Jawa. Demi kepentingan ilmu pengetahuan dan teknologi, bahasa Jawa
sering dikorbankan. Banyak juga orang tua yang tidak mengajarkan bahasa Jawa
kepada anaknya karena mereka takut anaknya tidak dapat mengikuti pelajaran di
sekolah yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Para
pendidik juga menyadari bahwa dengan mengajarkan tingkat tutur krama yang baik,
murid-murid akan memiliki sopan santun yang baik.
Karena arus globalisasi dan teknologi serta tarik menarik antara budaya
barat dan budaya Timur Tengah manusia Jawa telah kehilangan jati dirinya.
Manusia Jawa tidak Jawa lagi njowo. Banyak diantara mereka yang sudah tidak
lagi bangga dengan bahasa dan budayanya sendiri. Bila orang Jawa dulu
mengajarkan anaknya untuk berperilaku santun dan berbahasa Jawa sesuai dengan
unggah-unnguh yang benar, tidak demikian orang tua Jawa sekarang.
Karena berbagai faktor, antara lain faktor ekonomi, teknologi yang
menghendaki manusia bergerak cepat, banyak orang tua yang kurang malah mungkin
lupa akan nilai-nilai kesantunan yang harus dihayati dan diajarkan kepada
anak-anaknya akibatnya.
Budaya Jawa telah mengalami perubahan yang sangat mendasar dan sangat
memprihatinkan. Banyak kalangan yang mengkhawatirkan keadaan ini. Banyak
Manusia jawa yang memudar jati dirinya sebagai manusia Jawa. Kesantunan, tata
krama yang mestinya di’uri-uri’ dilupakan bahkan diremehkan. Rasa tepo seliro,
empan papan, andhap asar, pekewuh, isin, tidak dimaknai sebagai nilai yang
luhur. Hilangnya rasa hormat, rasa tepo seliro, dan unggah-ungguhing basa
tercermin dalam bahasa yang mereka pergunakan. Banyak orang Jawa yang lebih
menyukai bahasa Indonesia atau bahasa asing, seperti bahasa Inggris atau bahasa
Arab dari pada bahasanya sendiri, bahasa jawa. Mereka merasa lebih sreg
menyampaikan rasa hormat dalam bahasa Indonesia dari pada basa krama.
Penggunaan basa (krama atau madya) tidak hanya berkurang dikalangan
generasi muda, dikalangan teman dan kolega, tetapi juga di kalangan
lembaga-lembaga pendidikan dan keluarga. Banyak orang tua dan pendidik yang
lebih menyukai anak-anak dan murid-murid sekolah kalau berbicara menggunakan
bahasa Indonesia atau basa ngoko. Hal ini lain dengan orang tua dan para guru
zaman dahulu. Orang tua dahulu, terutama yang ingin dianggap tinggi
martabatnya, yang dianggap orang tua yang tahu unggah-ungguh, atau adat sopan
santun menginginkan anaknya agar ber ‘basa’ terhadap orang tua dan sanak
saudara yang mempunyai darah lebih tua. Bila seorang anak tidak bisa ‘basa’
maka orang akan berkata ‘kuwi anake sapa kok ora duwe unggah-ungguh’ atau akan
menyimpulkan bahwa orang tuanya tidak berpendidikan. Orang tua sekarang tidak
merasa ‘isin’ bila anaknya tidak bisa ‘basa’.
Kesantunan, tata krama, rasa isin melemah bersama dengan melemahnya kemauan
dan kemampuan ‘tatakramaning basa’.